OTAK DAN SECANGKIR KOPI HITAM
Tinggal sepuluh persen lagi yang
masih tersisa. Jangan terlalu padat biar ngga oleng kayak Inah yang kerjanya
make up menor setiap hari. Lagi nyapu pantatnya sedikit ngintip. Hujan ngga hujan
pakai payung, itu kalau jalan kaki lalu naik angkot sembarang. Sepanjang jalan
nyerocos sendirian. Pergi pagi pulang siang. Pergi pagi pulang sore. Pergi pagi
pulang malam. Naik turun angkot. Keluarganya boro-boro nyariin. Apalagi sampai
kelimpungan, ngga ada tuh dalam kamus mereka. Memang sih, belum pernah dua hari
semalam tak terlihat batang hidungnya. Yang jelas Inah pasti balik ke kandang
tanpa lecet sedikit pun. Kadang naik sepeda sambil nyanyi. Sepedanya unik. Bisa
membawa Inah berkeliling kota tanpa gores sedikitpun. Hafal betul lampu lalu
lintas. Kapan saatnya berhenti, siaga, dan jalan.
“Kau ini sedang bercerita apa?”
“Itu loh, Inah yang kelebihan
muatan.”
“Lalu?”
“Kok lalu? Ya sisaku hanya sepuluh
persen lagi. Jangan sampai keberatan apalagi jebol. Nanti kayak Inah!”
“Argh, itu hanya ketakutanmu saja!”
“Aku sudah mengingatkan.”
***
Sangat lelet. Loadingmu lama.
Lambreta! Contoh aku. Dapat menangkap, menjawab, dan berpikir dengan cepat. Aku
tidak seperti kamu yang melulu murung dan mengurung. Lihat, ada Risna, Budi,
Juki, dan Lidya. Kawan-kawan yang telinganya kebal dengan semua rentetan lisan
majikanku. Majikanku juga kebal. Berjam-jam bahkan seharian penuh tetap setia
menjadi pendengar yang baik bagi kawan-kawannya yang didera problematika
kehidupan. Aku sungguh mencintai majikanku.
“Tidak boleh berkata seperti itu.
Sama saja kau ikut membunuhnya secara perlahan.”
“Aku tidak membunuhnya. Tidak akan!
Justru dia akan terbunuh oleh dirinya sendiri.”
Majikanku mulai tidak fokus dengan
kisah-kisah yang diceritakan beberapa kawan-kawan di meja ini lantaran melihat
sosok kepala terbakar. Apinya menjalar dan siap menghanguskan.
“Apa kubilang. Dia akan terbunuh
oleh dirinya sendiri.”
Majikanku bangkit.
“Sebentar ya.”
Meja ini mulai ditinggalkan dan
majikanku melangkah menuju meja yang penghuninya siap menjadi abu. Meja yang
terlihat baik-baik saja.
“Jangan mendekat majikanku! Jangan!
Kau bisa ikut terbunuh!”
“Diam! Justru aku dan kamu yang akan
menyelamatkannya dari sebuah tragedi maut. Peristiwa pembunuhan!”
“Baik. Kuikuti kau sebagai
majikanku, tapi kita harus tetap waspada agar bara apinya tak mengenai kita
sedikitpun.”
“Permisi,” majikanku mengulurkan
tangannya yang sedikit berkeringat.
“Prita.”
“Agra,” pria tegap, berhidung
mancung, bermata jernih, bertubuh ideal, berkulit gelap namun terlihat manis
menjabat tangan Prita.
“Sendirian?”
“Seperti yang terlihat.”
“Boleh duduk di sini?”
Agra tersenyum renyah. Prita memang
pandai merayu. Kalau bukan karenanya, habislah ia dilalap api.
Lima belas menit berlalu masih
terasa basa-basi. Padahal semua jurus semaksimal mungkin dikeluarkan hingga
jurus andalan menanyakan pin bb, alamat rumah, bahkan soal status. Namun semua
dijawab Agra hanya dengan senyuman. Agra masih tetap bungkam dengan alasan
tidak terbiasa bercerita.
Padahal otak mereka sedang asik
bercinta sambil bercerita perihal majikannya masing-masing.
“Majikanku, isi kepalanya bercerita
kepadaku bahwa papinya Agra bekas seorang kepala Departemen Agama yang doyan
berzina dengan bermacam wanita. Papinya enggan menceraikan istrinya, entah dengan
alasan apa. Terakhir kepergok, papinya Agra mengelus paha mulus pembantunya
sendiri sambil meluk dan meremas pinggang. Itu kejadian ke empat kalinya yang
kepergok. Belum terhitung yang aman. Sekarang maminya lagi ngurus perceraian.
Agra punya kakak tukang mabok, penjudi, dan pezina. Lebih komplit dibanding
papinya. Adik satu-satunya yang selalu menjadi teman setianya meninggal dunia tertabrak
tronton semen bermuatan tiga puluh dua ton. Tubuhnya hancur terlindas.”
“Sama seperti hati Agra yang hancur
terlindas perasaannya sendiri tanpa mau berbagi.”
“Kamu bilang apa barusan?” Suara
Agra mengejutkan. Agra menyodorkan secangkir kopi hitam yang sedari tadi
melongo.
“Suka kopi hitam?”
“Ngga. Makasih.”
“Ngga suka karena pahit?”
Prita tersenyum mengangguk.
“Kalau bagimu ini pahit, coba kau
minum karena setelah kau teguk, maka kau akan mendapatkan apa yang sebenarnya
kau cari di meja ini.”
Prita meneguk sedikit kopi hitam dan
ajaib. Secangkir kopi hitam seketika membuat pusaran beberapa detik lalu
berhenti dan memutar peristiwa yang hampir memadati otak Agra. Dengan mata
setengah terbelalak, dahi yang mengerut mengubah posisi alis, Prita kini
terhipnotis.
Tontonan yang begitu menguras
energi. Degup jantung Prita terasa lebih cepat. Darahnya mulai naik. Tontonan
orang dewasa. Adegan yang hanya perlu diselesaikan dalam waktu dua menit. Kembali
terlihat pusaran di air. Prita tertegun dan menatap Agra yang ternyata sedari
tadi asik dengan handphonenya.
“Agra.”
Agra menoleh, memasukan handphone ke
dalam saku celananya dan tersenyum. Diserednya secangkir kopi hitam yang tadi
disodorkan pada Prita, lalu meneguknya.
“Manis.”
***
Malam ini tersaji dua kopi hitam di
atas meja di kamar hotel. Prita seolah menemukan letak manis dalam secangkir
kopi hitam dan Agra baru merasakan bahwa manisnya secangkir kopi hitam tak
semanis malam ini.
0 komentar:
Posting Komentar