cerpen

Written By Unknown on Rabu, 25 Februari 2015 | 01.40



OTAK DAN SECANGKIR KOPI HITAM

            Tinggal sepuluh persen lagi yang masih tersisa. Jangan terlalu padat biar ngga oleng kayak Inah yang kerjanya make up menor setiap hari. Lagi nyapu pantatnya sedikit ngintip. Hujan ngga hujan pakai payung, itu kalau jalan kaki lalu naik angkot sembarang. Sepanjang jalan nyerocos sendirian. Pergi pagi pulang siang. Pergi pagi pulang sore. Pergi pagi pulang malam. Naik turun angkot. Keluarganya boro-boro nyariin. Apalagi sampai kelimpungan, ngga ada tuh dalam kamus mereka. Memang sih, belum pernah dua hari semalam tak terlihat batang hidungnya. Yang jelas Inah pasti balik ke kandang tanpa lecet sedikit pun. Kadang naik sepeda sambil nyanyi. Sepedanya unik. Bisa membawa Inah berkeliling kota tanpa gores sedikitpun. Hafal betul lampu lalu lintas. Kapan saatnya berhenti, siaga, dan jalan.
            “Kau ini sedang bercerita apa?”
            “Itu loh, Inah yang kelebihan muatan.”
            “Lalu?”
            “Kok lalu? Ya sisaku hanya sepuluh persen lagi. Jangan sampai keberatan apalagi jebol. Nanti kayak Inah!”
            “Argh, itu hanya ketakutanmu saja!”
            “Aku sudah mengingatkan.”
***
            Sangat lelet. Loadingmu lama. Lambreta! Contoh aku. Dapat menangkap, menjawab, dan berpikir dengan cepat. Aku tidak seperti kamu yang melulu murung dan mengurung. Lihat, ada Risna, Budi, Juki, dan Lidya. Kawan-kawan yang telinganya kebal dengan semua rentetan lisan majikanku. Majikanku juga kebal. Berjam-jam bahkan seharian penuh tetap setia menjadi pendengar yang baik bagi kawan-kawannya yang didera problematika kehidupan. Aku sungguh mencintai majikanku.
            “Tidak boleh berkata seperti itu. Sama saja kau ikut membunuhnya secara perlahan.”
            “Aku tidak membunuhnya. Tidak akan! Justru dia akan terbunuh oleh dirinya sendiri.”
            Majikanku mulai tidak fokus dengan kisah-kisah yang diceritakan beberapa kawan-kawan di meja ini lantaran melihat sosok kepala terbakar. Apinya menjalar dan siap menghanguskan.
            “Apa kubilang. Dia akan terbunuh oleh dirinya sendiri.”
            Majikanku bangkit.
            “Sebentar ya.”
            Meja ini mulai ditinggalkan dan majikanku melangkah menuju meja yang penghuninya siap menjadi abu. Meja yang terlihat baik-baik saja.
            “Jangan mendekat majikanku! Jangan! Kau bisa ikut terbunuh!”
            “Diam! Justru aku dan kamu yang akan menyelamatkannya dari sebuah tragedi maut. Peristiwa pembunuhan!”
            “Baik. Kuikuti kau sebagai majikanku, tapi kita harus tetap waspada agar bara apinya tak mengenai kita sedikitpun.”
            “Permisi,” majikanku mengulurkan tangannya yang sedikit berkeringat.
            “Prita.”
            “Agra,” pria tegap, berhidung mancung, bermata jernih, bertubuh ideal, berkulit gelap namun terlihat manis menjabat tangan Prita.
            “Sendirian?”
            “Seperti yang terlihat.”
            “Boleh duduk di sini?”
            Agra tersenyum renyah. Prita memang pandai merayu. Kalau bukan karenanya, habislah ia dilalap api.
            Lima belas menit berlalu masih terasa basa-basi. Padahal semua jurus semaksimal mungkin dikeluarkan hingga jurus andalan menanyakan pin bb, alamat rumah, bahkan soal status. Namun semua dijawab Agra hanya dengan senyuman. Agra masih tetap bungkam dengan alasan tidak terbiasa bercerita.
            Padahal otak mereka sedang asik bercinta sambil bercerita perihal majikannya masing-masing.
            “Majikanku, isi kepalanya bercerita kepadaku bahwa papinya Agra bekas seorang kepala Departemen Agama yang doyan berzina dengan bermacam wanita. Papinya enggan menceraikan istrinya, entah dengan alasan apa. Terakhir kepergok, papinya Agra mengelus paha mulus pembantunya sendiri sambil meluk dan meremas pinggang. Itu kejadian ke empat kalinya yang kepergok. Belum terhitung yang aman. Sekarang maminya lagi ngurus perceraian. Agra punya kakak tukang mabok, penjudi, dan pezina. Lebih komplit dibanding papinya. Adik satu-satunya yang selalu menjadi teman setianya meninggal dunia tertabrak tronton semen bermuatan tiga puluh dua ton. Tubuhnya hancur terlindas.”
            “Sama seperti hati Agra yang hancur terlindas perasaannya sendiri tanpa mau berbagi.”
            “Kamu bilang apa barusan?” Suara Agra mengejutkan. Agra menyodorkan secangkir kopi hitam yang sedari tadi melongo.
            “Suka kopi hitam?”
            “Ngga. Makasih.”
            “Ngga suka karena pahit?”
            Prita tersenyum mengangguk.
            “Kalau bagimu ini pahit, coba kau minum karena setelah kau teguk, maka kau akan mendapatkan apa yang sebenarnya kau cari di meja ini.”
            Prita meneguk sedikit kopi hitam dan ajaib. Secangkir kopi hitam seketika membuat pusaran beberapa detik lalu berhenti dan memutar peristiwa yang hampir memadati otak Agra. Dengan mata setengah terbelalak, dahi yang mengerut mengubah posisi alis, Prita kini terhipnotis.
            Tontonan yang begitu menguras energi. Degup jantung Prita terasa lebih cepat. Darahnya mulai naik. Tontonan orang dewasa. Adegan yang hanya perlu diselesaikan dalam waktu dua menit. Kembali terlihat pusaran di air. Prita tertegun dan menatap Agra yang ternyata sedari tadi asik dengan handphonenya.
            “Agra.”
            Agra menoleh, memasukan handphone ke dalam saku celananya dan tersenyum. Diserednya secangkir kopi hitam yang tadi disodorkan pada Prita, lalu meneguknya.
            “Manis.”
***
            Malam ini tersaji dua kopi hitam di atas meja di kamar hotel. Prita seolah menemukan letak manis dalam secangkir kopi hitam dan Agra baru merasakan bahwa manisnya secangkir kopi hitam tak semanis malam ini.

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul cerpen yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 01.40

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.