cerpen

Written By Unknown on Rabu, 25 Februari 2015 | 01.11



FIRASAT MIMPI

            Selama ini aku menganggapnya hanya sebagai kawan baik. Tidak lebih. Dan kali ini kulihat ia sebagai seorang pendiam yang luar biasa. Mata kami saling berpandangan lama dan dalam benak kami saling bertanya, apakah ini sebuah pertanda? Ia diam seribu bahasa sambil terus mengaduk air jeruk dalam gelas dan tetap setia memandangku. Aku pun bisu sembari terus memotong roti dan memakannya secara perlahan dengan tetap setia memandangnya.
            Lima tahun lalu saat kami bertemu pertama kali, tak sedikit pun ketertarikan dalam diriku padanya dan mungkin ia pun sama. Memandangku hanya sebagai anak ingusan. Kesan pertamaku terhadapnya adalah wajahnya seperti jalan tol. Lurus. Terkesan cuek dan acuh. Namun pada beberapa wanita yang kukenal, ia bisa sedikit berbasa-basi, tapi bukan berarti genit. Pertemuan pertama kami hanya sebatas saling mengenal. Cukup tahu nama.
            Tiga tahun tak jumpa, kami pun bertemu kembali dan hubungan pertemanan mulai terjalin di antara kami. Ternyata dugaanku keliru. Wajah jalan tol itu hanya tipuan belaka. Ia hangat pada siapa pun.
            Ketika itu, kami dipertemukan lagi dalam keadaannya yang miris. Aku menggiring diriku sendiri masuk ke dalam problematika hidup yang menderanya. Sekali, dua kali, bahkan sampai tak terhitung kucurahkan pikiran, waktu, dan tenaga untuk membantunya menyelesaikan segala persoalan yang memberatkannya. Aku pun tak enggan bertukar pendapat dengannya bahkan seringkali meminta pertolongan.
Lagi-lagi dugaanku keliru. Ia tak pernah menganggapku sebagai anak ingusan. Penghargaan terhadap sosok perempuan selalu ditunjukan bukan hanya padaku, namun bukan berarti ia pandai merayu. Perlakuan indah yang ditunjukannya pada kaum perempuan atas dasar kasih sayang dan kode etik.
Ya, kode etik. Seringkali terlupakan terkecuali oleh ia yang menjunjung tinggi sebuah kode etik. Menghargai orang lain adalah hal terwajib bagi dirinya. Kini kami berkawan baik, walau pun usiaku dua puluh tahun lebih muda.
“Itu hanya mimpi.”
Terdengar dari suaranya, sepertinya ia meyakini betul anggapannya.
“Ya, mungkin itu hanya sekedar mimpi.”
Kembali kami terdiam. Hanyut oleh pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkannya, namun nampaknya ia pun sedang memikirkan hal yang sama denganku.
Gerakan tangannya secara perlahan memakan salad dengan tatapan penuh berisi makna menguatkan dugaanku bahwa ia memirkan suatu hal yang tak lain adalah tentang mimpiku atau mungkin ia memikirkan tentang kelanjutan hubungan kami seperti apa kiranya yang lebih baik untuk dijalani bersama.
Malam itu, tiga bulan setelah dipertemukannya kami kembali, aku bertemu seorang perempuan berparas cantik. Berpakaian kemeja putih panjang dan celana jeans hitam. Rambutnya terikat rapi membentuk gulungan dan nampaknya jika gulungan itu jatuh, maka akan terlihat rambutnya hitam panjang terurai. Sepatu tinggi hitam yang dipakainya tidak menunjukan bahwa ia bertubuh pendek. Walaupun tanpa sepatu tinggi hitam itu, tubuhnya tetap lebih tinggi dibandingkanku.
Di kursi panjang ini kami duduk berdua. Terasa akrab walaupun aku sama sekali tak mengenalnya. Entah kami berada di mana, namun yang jelas bukan di dalam sebuah ruangan melainkan di tempat terbuka yang gelap dan hanya ada kami berdua. Kami yang belum pernah saling bertemu sebelumnya, tapi aku yakin dia kekasih hati Dani yang telah tiada.
“Titip Dani ya.”
Kalimat yang membuatku heran, namun senyum hangat tetap kuberikan padanya.
Paginya, saat mataku terbangun dari tidur dan aku masih bersetubuh mesra dengan kasur, aku sedikit memikirkan mimpi semalam.
“Cuma mimpi.”
Sudah setahun lebih aku berkawan dengan Dani. Duda yang istrinya meninggal setahun sebelum kami bertemu pertama kali.
Aku, perempuan yang malas untuk berpacaran dan Dani, pria yang telah lama menyendiri dan masih enggan mencari pengganti sebagai pendamping hidupnya yang baru, itulah mungkin yang membuat kami merasa nyaman berkawan. Tak ada kekasih yang ada hanyalah kawan.
Di langit, bulan dan bintang memancarkan cahayanya. Penuh kemilau. Sebenarnya aku belumlah puas mencumbu langit, tapi waktu telah menegurku untuk segera berbaring, melepas lelah dan penat setelah seharian bertempur di medan perang.
“Jangan sampai malam ini aku tertidur di atap rumah,” pikirku.
Langsung kulangkahkan kaki menuju kamar tidur yang sedari tadi menanti kehadiranku. Ternyata mereka telah mempersiapkan semuanya untuk memanjakan dan membelai hangat tidurku.
Baru sekejap aku menutup mata, terasa cahaya mencium kedua mataku yang masih ingin setia dalam tidur. Namun cahaya itu memaksa masuk ke dalam kelopak mata. Membuatku terbangun. Cahaya matahari menyelinap dari celah-celah jendela dan ventilasi.
Tak seperti biasanya. Hari ini aku sangatlah berbeda. Bukan aku yang selalu bermalas-malasan saat bangun tidur, tapi aku yang penuh semangat bergegas menuju kamar mandi.
Selesai membersihkan seluruh anggota tubuh, aku kembali ke kamar lengkap dengan balutan pakaian. Kamarku terlihat sudah rapi dan bersih. Padahal belum sempat kubereskan sejak bangun tidur tadi. Entah siapa yang menyulap kamarku menjadi rapi dan sangat bersih.
Kududuk di depan laptop. Menuangkan hasrat diri. Sesaat setelah kuberi judul cerpenku ‘FIRASAT MIMPI’ seorang perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahunan berdiri di pintu kamar. Memperhatikanku. Entah siapa. Tapi aku tidak merasa takut sedikit pun. Bahkan seolah kami memiliki kedekatan.
Kudekati sambil terus menatap. Tepat di hadapan beliau kini aku berdiri dengan rasa penasaran. Kami tak saling mengenal sebelumnya, tapi aku yakin beliau salah seorang yang amat berarti dalam hidup Dani. Ibunda Dani. Tersenyum penuh makna.
“Ijinkan Dani menjadi imammu. Kamu mau kan menjadi istrinya? Menjadi pendamping hidupnya.”
Kuterdiam. Duduk di kasur berusaha membiaskan ketegangan yang bercampur bahagia. Beliau menunggu jawabanku di kursi ruang tamu. Kami saling bisu di ruang masing-masing. Tak butuh waktu lama untuk menjawab. Kemudian kami saling bertatap kembali di pintu kamar. Aku tersenyum dan menggangguk.
“Pamit dulu ya. Minggu depan ke sini lagi.”
Begitu kalimat terakhir yang dilontarkan mengakhiri perjumpaan kami. Kebahagiaan terpancar di wajah beliau menemani langkah yang kian menjauh.
“Kalau aku bisa melihat mimpimu mungkin aku akan tahu benar atau tidaknya mereka adalah istri dan ibuku.”
Suara yang memecah keheningan dan kebisuan, lalu kubalas dengan hanya sebuah kata.
“Foto?”
“Semua hanyut dan tidak ada yang tersisa.”
“Kecuali kenangan. Malam ini tepat seminggu setelah kehadiran beliau.”
“Tidak ada yang perlu kamu pikirkan. Biarkan mengalir.”
Selepas makan malam, ia mengantarku pulang. Tak perlu pikir panjang untuk langsung bercinta di dalam kamar. Tepat saat mataku akan terpejam satu pesan kuterima.
“Semua berjalan sebagaimana mestinya. Berjalan sesuai aturan Tuhan.”
Pesan yang menutup obrolan kami hari ini. Kurebahkan tubuhku berharap malam meleburkan segala keletihan.
Tanpa malu-malu seberkas cahaya menyusup ke dalam kamar dan tiba-tiba saja aku berteriak girang. Bukan karena mentari pagi yang telah bersinar terang. Namun karena secarik kertas yang kugenggam. Aku seolah berada pada puncak kebahagiaan. Berputar, menari, dan berteriak girang.
“Aku akan menikah! Yeee . . .!”
Tenot tenot. Telepon berdering di atas meja. Sengaja memutus teriakanku. Dengan setengah sadar kuangkat telepon.
“Pagi.”
“Pagi.”
“Belum bangun non?”
“Baru nih.”
“Kalau sore ini ngga ada acara kita bertemu di kafe semalam, bisa?”
“Ya, bisa.”
Diriku memaksa sadar dan seperti biasanya aku bermalas-malasan terlebih dulu di kasur sebelum akhirnya merelakan diri tercebur lagi ke dalam segudang rutinitas menjenuhkan.
“Semalam aku mimpi apa ya?”
Kuingat lagi mimpi yang menjamahku semalam. Aku terbenam dalam ingatan obrolan dengan Dani di sebuah kafe tadi malam.
“Ini sudah ke tiga kalinya aku bermimpi yang berhubungan dengan Dani, Dani, dan selalu Dani!” gerutuku.
Ternyata sore ini membawa jawaban atas segala pertanyaan yang terasa sangat mengganjal. Aku diperkenalkan dengan seluruh anggota keluarga Dani dan kini tersemat cincin di jari manis tangan kiriku.
Seminggu lebih setelah cincin pertunangan tersemat, aku tinggal bersama Dani di satu atap. Namun sayang hanya mimpi.
Mimpi? Benarkah hanya mimpi atau justru sebuah pertanda?

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul cerpen yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 01.11

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.