FIRASAT MIMPI
Selama
ini aku menganggapnya hanya sebagai kawan baik. Tidak lebih. Dan kali ini
kulihat ia sebagai seorang pendiam yang luar biasa. Mata kami saling
berpandangan lama dan dalam benak kami saling bertanya, apakah ini sebuah
pertanda? Ia diam seribu bahasa sambil terus mengaduk air jeruk dalam gelas dan
tetap setia memandangku. Aku pun bisu sembari terus memotong roti dan
memakannya secara perlahan dengan tetap setia memandangnya.
Lima
tahun lalu saat kami bertemu pertama kali, tak sedikit pun ketertarikan dalam
diriku padanya dan mungkin ia pun sama. Memandangku hanya sebagai anak ingusan.
Kesan pertamaku terhadapnya adalah wajahnya seperti jalan tol. Lurus. Terkesan
cuek dan acuh. Namun pada beberapa wanita yang kukenal, ia bisa sedikit
berbasa-basi, tapi bukan berarti genit. Pertemuan pertama kami hanya sebatas
saling mengenal. Cukup tahu nama.
Tiga
tahun tak jumpa, kami pun bertemu kembali dan hubungan pertemanan mulai
terjalin di antara kami. Ternyata dugaanku keliru. Wajah jalan tol itu hanya
tipuan belaka. Ia hangat pada siapa pun.
Ketika
itu, kami dipertemukan lagi dalam keadaannya yang miris. Aku menggiring diriku
sendiri masuk ke dalam problematika hidup yang menderanya. Sekali, dua kali,
bahkan sampai tak terhitung kucurahkan pikiran, waktu, dan tenaga untuk membantunya
menyelesaikan segala persoalan yang memberatkannya. Aku pun tak enggan bertukar
pendapat dengannya bahkan seringkali meminta pertolongan.
Lagi-lagi dugaanku
keliru. Ia tak pernah menganggapku sebagai anak ingusan. Penghargaan terhadap
sosok perempuan selalu ditunjukan bukan hanya padaku, namun bukan berarti ia
pandai merayu. Perlakuan indah yang ditunjukannya pada kaum perempuan atas
dasar kasih sayang dan kode etik.
Ya, kode etik. Seringkali
terlupakan terkecuali oleh ia yang menjunjung tinggi sebuah kode etik.
Menghargai orang lain adalah hal terwajib bagi dirinya. Kini kami berkawan
baik, walau pun usiaku dua puluh tahun lebih muda.
“Itu hanya mimpi.”
Terdengar dari suaranya,
sepertinya ia meyakini betul anggapannya.
“Ya, mungkin itu hanya
sekedar mimpi.”
Kembali kami terdiam.
Hanyut oleh pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkannya, namun
nampaknya ia pun sedang memikirkan hal yang sama denganku.
Gerakan tangannya secara
perlahan memakan salad dengan tatapan penuh berisi makna menguatkan dugaanku
bahwa ia memirkan suatu hal yang tak lain adalah tentang mimpiku atau mungkin
ia memikirkan tentang kelanjutan hubungan kami seperti apa kiranya yang lebih
baik untuk dijalani bersama.
Malam itu, tiga bulan
setelah dipertemukannya kami kembali, aku bertemu seorang perempuan berparas
cantik. Berpakaian kemeja putih panjang dan celana jeans hitam. Rambutnya
terikat rapi membentuk gulungan dan nampaknya jika gulungan itu jatuh, maka
akan terlihat rambutnya hitam panjang terurai. Sepatu tinggi hitam yang
dipakainya tidak menunjukan bahwa ia bertubuh pendek. Walaupun tanpa sepatu
tinggi hitam itu, tubuhnya tetap lebih tinggi dibandingkanku.
Di kursi panjang ini kami
duduk berdua. Terasa akrab walaupun aku sama sekali tak mengenalnya. Entah kami
berada di mana, namun yang jelas bukan di dalam sebuah ruangan melainkan di
tempat terbuka yang gelap dan hanya ada kami berdua. Kami yang belum pernah
saling bertemu sebelumnya, tapi aku yakin dia kekasih hati Dani yang telah
tiada.
“Titip Dani ya.”
Kalimat yang membuatku
heran, namun senyum hangat tetap kuberikan padanya.
Paginya, saat mataku terbangun
dari tidur dan aku masih bersetubuh mesra dengan kasur, aku sedikit memikirkan
mimpi semalam.
“Cuma mimpi.”
Sudah setahun lebih aku
berkawan dengan Dani. Duda yang istrinya meninggal setahun sebelum kami bertemu
pertama kali.
Aku, perempuan yang malas
untuk berpacaran dan Dani, pria yang telah lama menyendiri dan masih enggan
mencari pengganti sebagai pendamping hidupnya yang baru, itulah mungkin yang
membuat kami merasa nyaman berkawan. Tak ada kekasih yang ada hanyalah kawan.
Di langit, bulan dan
bintang memancarkan cahayanya. Penuh kemilau. Sebenarnya aku belumlah puas
mencumbu langit, tapi waktu telah menegurku untuk segera berbaring, melepas
lelah dan penat setelah seharian bertempur di medan perang.
“Jangan sampai malam ini
aku tertidur di atap rumah,” pikirku.
Langsung kulangkahkan
kaki menuju kamar tidur yang sedari tadi menanti kehadiranku. Ternyata mereka
telah mempersiapkan semuanya untuk memanjakan dan membelai hangat tidurku.
Baru sekejap aku menutup
mata, terasa cahaya mencium kedua mataku yang masih ingin setia dalam tidur.
Namun cahaya itu memaksa masuk ke dalam kelopak mata. Membuatku terbangun.
Cahaya matahari menyelinap dari celah-celah jendela dan ventilasi.
Tak seperti biasanya. Hari
ini aku sangatlah berbeda. Bukan aku yang selalu bermalas-malasan saat bangun
tidur, tapi aku yang penuh semangat bergegas menuju kamar mandi.
Selesai membersihkan
seluruh anggota tubuh, aku kembali ke kamar lengkap dengan balutan pakaian.
Kamarku terlihat sudah rapi dan bersih. Padahal belum sempat kubereskan sejak
bangun tidur tadi. Entah siapa yang menyulap kamarku menjadi rapi dan sangat
bersih.
Kududuk di depan laptop.
Menuangkan hasrat diri. Sesaat setelah kuberi judul cerpenku ‘FIRASAT MIMPI’
seorang perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahunan berdiri di pintu kamar.
Memperhatikanku. Entah siapa. Tapi aku tidak merasa takut sedikit pun. Bahkan
seolah kami memiliki kedekatan.
Kudekati sambil terus
menatap. Tepat di hadapan beliau kini aku berdiri dengan rasa penasaran. Kami tak
saling mengenal sebelumnya, tapi aku yakin beliau salah seorang yang amat
berarti dalam hidup Dani. Ibunda Dani. Tersenyum penuh makna.
“Ijinkan Dani menjadi
imammu. Kamu mau kan menjadi istrinya? Menjadi pendamping hidupnya.”
Kuterdiam. Duduk di kasur
berusaha membiaskan ketegangan yang bercampur bahagia. Beliau menunggu
jawabanku di kursi ruang tamu. Kami saling bisu di ruang masing-masing. Tak
butuh waktu lama untuk menjawab. Kemudian kami saling bertatap kembali di pintu
kamar. Aku tersenyum dan menggangguk.
“Pamit dulu ya. Minggu
depan ke sini lagi.”
Begitu kalimat terakhir
yang dilontarkan mengakhiri perjumpaan kami. Kebahagiaan terpancar di wajah
beliau menemani langkah yang kian menjauh.
“Kalau aku bisa melihat
mimpimu mungkin aku akan tahu benar atau tidaknya mereka adalah istri dan
ibuku.”
Suara yang memecah
keheningan dan kebisuan, lalu kubalas dengan hanya sebuah kata.
“Foto?”
“Semua hanyut dan tidak
ada yang tersisa.”
“Kecuali kenangan. Malam
ini tepat seminggu setelah kehadiran beliau.”
“Tidak ada yang perlu
kamu pikirkan. Biarkan mengalir.”
Selepas makan malam, ia
mengantarku pulang. Tak perlu pikir panjang untuk langsung bercinta di dalam
kamar. Tepat saat mataku akan terpejam satu pesan kuterima.
“Semua berjalan
sebagaimana mestinya. Berjalan sesuai aturan Tuhan.”
Pesan yang menutup
obrolan kami hari ini. Kurebahkan tubuhku berharap malam meleburkan segala
keletihan.
Tanpa malu-malu seberkas
cahaya menyusup ke dalam kamar dan tiba-tiba saja aku berteriak girang. Bukan
karena mentari pagi yang telah bersinar terang. Namun karena secarik kertas
yang kugenggam. Aku seolah berada pada puncak kebahagiaan. Berputar, menari,
dan berteriak girang.
“Aku akan menikah! Yeee .
. .!”
Tenot tenot. Telepon
berdering di atas meja. Sengaja memutus teriakanku. Dengan setengah sadar
kuangkat telepon.
“Pagi.”
“Pagi.”
“Belum bangun non?”
“Baru nih.”
“Kalau sore ini ngga ada
acara kita bertemu di kafe semalam, bisa?”
“Ya, bisa.”
Diriku memaksa sadar dan
seperti biasanya aku bermalas-malasan terlebih dulu di kasur sebelum akhirnya
merelakan diri tercebur lagi ke dalam segudang rutinitas menjenuhkan.
“Semalam aku mimpi apa
ya?”
Kuingat lagi mimpi yang
menjamahku semalam. Aku terbenam dalam ingatan obrolan dengan Dani di sebuah
kafe tadi malam.
“Ini sudah ke tiga
kalinya aku bermimpi yang berhubungan dengan Dani, Dani, dan selalu Dani!”
gerutuku.
Ternyata sore ini membawa
jawaban atas segala pertanyaan yang terasa sangat mengganjal. Aku diperkenalkan
dengan seluruh anggota keluarga Dani dan kini tersemat cincin di jari manis
tangan kiriku.
Seminggu lebih setelah
cincin pertunangan tersemat, aku tinggal bersama Dani di satu atap. Namun
sayang hanya mimpi.
Mimpi? Benarkah hanya
mimpi atau justru sebuah pertanda?
0 komentar:
Posting Komentar