DURI
“Aku ingin meninggalkan semuanya.
Meninggalkan kota yang begitu kelam. Banyak duri yang harus kupendam. Semakin
lama kubawa berlari semakin membengkak luka yang ditimbulkan oleh duri-duri
itu. Aku ingin membuka lembaran baru dengan cinta yang sangat sederhana. Tidak
lagi ada cinta berlebih untuk hal yang terlalu rumit. Aku tak ingin terlalu
lama menyiksa diriku sendiri dengan terus menerus bertahan di jalan-jalan dan
tempat-tempat yang sering menorehkan luka sedikit demi sedikit hingga kini
telah menumpuk dan belum juga terobati. Luka lama ini tak kan pernah mengering
sampai aku pergi. Pergi ke kota lain yang belum pernah kujejaki dan
mendamaikanku di awal cerita baru. Kota yang akan menghidupkanku kembali
menjadi manusia yang dipenuhi energi positif.”
“Kemana kau akan pergi?”
Ashifa terdiam. Menatap lekat Iban
yang duduk di sampingnya. Ada kegetiran di sebalik sorot mata Ashifa. Kegetiran
yang selalu menemani langkahnya sejak ia mulai mengenal arti kedurhakaan dan
perselingkuhan.
Iban yang dikenalnya dua tahun ini
menjadi bahasa baru dalam hidup Ashifa. Bahasa baru yang mewarnai pikiran
Ashifa dan dapat mendebarkan jantungnya setiap kali menuangkan gelora asmara ke
dalam bahasa baru, bahasa cinta.
Iban telah tahu banyak tentang luka
hebat yang merampas kebahagiaan Ashifa. Iban ingin sekali membawakan peti untuk
menyimpan luka-luka Ashifa, tapi Iban belum mampu. Ia belum punya cukup uang
untuk membeli peti itu.
“Tak perlu bagus, tak perlu mewah
yang penting kuat menyimpan banyak luka dan yang terpenting lagi adalah harus
terkunci rapat agar tidak ada yang berani membobol. Agar luka-luka itu tetap
tersimpan rapi di dalam peti. Setelah semua luka berada di dalam peti, lalu
dikubur bersama dengan kuncinya.”
Kalimat yang dilontarkan Ashifa
tempo hari sebenarnya menjadi bahan renungan untuk Iban, tapi Iban tetap
bersikukuh ingin membawakan peti yang bagus karena kualitasnya pasti jauh lebih
baik dibandingkan dengan peti biasa. Iban ingin memberikan peti yang bagus agar
kuat menyimpan banyak luka seperti yang diinginkan Ashifa. Berbulan-bulan Iban
mengumpulkan uang untuk membeli peti, namun sampai dengan pertemuannya kini
bersama Ashifa di taman dekat danau, Iban belum juga sanggup membelikan peti
yang bagus.
Iban ingin sekali membahagiakan
Ashifa, walau dirinya sendiri telah dipenuhi banyak luka yang mulai memborok
dan Ashifa tidak pernah mengetahui itu. Iban sengaja tak menceritakan perihal
duri-duri tajam yang menimbulkan luka pada dirinya, karena Iban masih berusaha
untuk berdamai dengan borok yang kian lama kian menggerogoti pikiran dan
hatinya. Iban juga tak ingin menambah beban pada Ashifa yang baru diketahui
mencintainya.
Ashifa baru menyatakan perasaannya
hari ini. Di taman dekat danau yang merupakan taman biasanya mereka bertemu dan
ini adalah pertemuan terakhir mereka di kota penuh luka. Bagi Ashifa, kota ini
layak disebut kota mati. Kota yang memangsa penghuninya sendiri, termasuk
Ashifa.
Aris, kakak Ashifa yang psikopat.
Sering dihajar ayah dan saudara lain setelah aksinya terendus. Bahkan dihajar
masa ketika aksinya kebobolan. Ke luar masuk penjara sudah menjadi
rutinitasnya. Orang tuanya termasuk dari kalangan berada, tapi entah mengapa
sejak kecil Aris selalu mencuri barang milik orang lain. Padahal jika meminta,
orang tuanya masih sanggup membelikan.
“Seperti ada yang mendorong kakak
untuk melakukannya. Suara itu selalu mengikuti kakak. Apalagi setiap kali kakak
melihat barang-barang milik orang lain, suara itu semakin kuat mendorong kakak
untuk mengambilnya diam-diam.”
Sudah berulang kali Ashifa
mengatakan pada kakaknya bahwa itu adalah dorongan hawa nafsunya sendiri. Sudah
berulang kali pula Ashifa menasihati kakaknya untuk menahan diri, melawan hawa
nafsu, tapi nyatanya tak juga membuat kelakuan Aris berubah walaupun perlahan.
Seorang psikiater sudah pernah turun tangan, tapi akhirnya angkat tangan. Ruqyah
juga sudah pernah dilakukan, tapi tetap tak ada hasil. Sampai suatu ketika Aris
diusir dari rumah. Tak lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga. Kedua orang
tua sudah tak lagi menganggapnya anak.
Kisah yang dialami Aris dianggap
sebagai duri-duri tajam yang setia menemani duri-duri lainnya di dalam otak dan
hati Ashifa.
Ayahnya Ashifa pernah berangkat haji,
maka beliau adalah seseorang yang mendapat gelar haji, hingga siapapun yang
memanggil pastilah dengan sebutan pak haji. Namun siapa sangka, bahkan Ashifa
pun tak pernah menyangka bahwa ayahnya sendiri yang seorang haji sering senggol
sana sini. Belum puas dengan istrinya, lantas bermain ranjang dengan wanita
lain. Wanita-wanita muda yang doyan daun tua.
Sejak
kecil Ashifa sering melihat bermacam wanita masuk ke dalam rumah tanpa
diketahui ibunda Ashifa. Ayahnya tak pernah mengancam Ashifa untuk tutup mulut
karena ayahnya tahu anaknya yang perempuan itu masih ingusan. Kalaupun Ashifa
bertanya siapa wanita itu, ayahnya selalu menjawab enteng bahwa wanita itu
teman sekantornya. Melulu begitu dalihnya setiap kali membawa wanita lain lagi
masuk ke dalam rumah.
“Memangnya
teman-teman sekantor ayah wanita semua ya?” pikirnya.
Hingga
Ashifa beranjak remaja, kedua orang tuanya ribut besar. Mendeburkan gelombang
pasang hingga warga yang mendengar bergegas ke luar dari dalam rumah
masing-masing. Para tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ashifa
berduyun-duyun mengintip. Tak mau ketinggalan adegan menegangkan.
Seorang
wanita ke luar dari dalam rumah Ashifa dengan wajah tertunduk malu. Semua mata
tetangga seolah menudingnya sebagai wanita penggoda, perusak rumah tangga orang
lain. Wanita itu berpapasan dengan Ashifa yang akan masuk ke dalam rumah.
Kedatangan Ashifa tentu membuat semua mata yang melihat menjadi kikuk dan mereka
langsung kembali ke rumah masing-masing, berpura-pura sibuk dengan pekerjaan
rumahnya.
Ashifa
heran dan bergegas masuk ke dalam rumah. Di pintu rumah ia berpapasan dengan
ayahnya yang setengah berlari ke luar. Semua mata tetangga kembali menumpuk di
depan rumah Ashifa. Mereka masih dipenuhi rasa penasaran untuk mengetahui
bagaimana ending dari adegan dramatik itu.
Ibunda
Ashifa tumbang di lantai, menangis pilu. Meja hijau dipilih sebagai jalan
tengah. Menjadi solusi bagi permasalahan kedua orang tua Ashifa.
Itulah
sekelumit masalah yang mendera Ashifa yang membuatnya ingin pergi dari kota ini
dan memeluk kota lain. Ashifa ingin berenang dengan damai. Menyelami dunia
tanpa duri-duri tajam yang diberikan orang-orang terkasihnya. Kalaupun di kota
lain Ashifa kembali ditusuk duri tajam, biarlah duri itu berenang damai
bersamanya karena duri tajam itu bukanlah duri dari orang-orang yang
dikasihinya, melainkan dari orang-orang yang akan membesarkan namanya. Orang-orang
yang akan membantunya memetikan duri-duri kelam dan membantu menggalikan
kuburan untuk tempat menyimpan peti bersama kuncinya. Biarlah duri baru itu
tertabung dengan sendirinya karena duri tajam itu bukanlah duri dari
tempat-tempat kelam, melainkan dari tempat-tempat bersejarah yang akan lahir
menjadi rekam jejak sebelum ia berhasil.
Ia
akan meninggalkan Iban yang juga mencintainya diam-diam. Meninggalkan Iban yang
masih memendam duri di dalam tubuhnya.
Iban,
lelaki yang dibesarkan tanpa mimpi, tanpa memiliki keinginan, dan harapan.
Lelaki yang dituntut untuk tidak besar menjadi seorang penulis karena menjadi
penulis artinya menjadi pemimpi, pemberontak, dan hidup kere terus-menerus.
Sejak
dirinya senang menulis, semua anggota keluarga memicingkan mata. Menganggap
enteng tulisan-tulisannya dan juga menganggap remeh pekerjaan seorang penulis. Sebenarnya
kedua orang tuanya hanya ketakutan jika Iban hidup melarat kalau hanya dengan
mengandalkan keahliannya menulis.
“Hanya?”
begitu pikirnya.
Padahal
Iban ingin sekali mendalami karya pena, namun di sisi lain tak ingin durhaka
pada kedua orang tua. Akhirnya Iban memilih menomorduakan menulis. Orang tua
Iban berharap anak semata wayangnya dapat meneruskan usaha warung keluarga.
Di
danau ini, di tempat biasanya bertemu, Iban meminta maaf pada Ashifa, karena
belum bisa membawakan peti dan Ashifa meminta maaf pada Iban, karena harus
pergi meninggalkan kota ini. Kota yang belum bisa memberikan kebahagiaan
untuknya. Pergi meninggalkan Iban yang masih sabar bercinta dengan duri-duri.
Meninggalkannya yang juga mencintainya.
Cirebon, 11 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar