Cerpen Duri

Written By Unknown on Sabtu, 28 Februari 2015 | 07.04



DURI
 
            “Aku ingin meninggalkan semuanya. Meninggalkan kota yang begitu kelam. Banyak duri yang harus kupendam. Semakin lama kubawa berlari semakin membengkak luka yang ditimbulkan oleh duri-duri itu. Aku ingin membuka lembaran baru dengan cinta yang sangat sederhana. Tidak lagi ada cinta berlebih untuk hal yang terlalu rumit. Aku tak ingin terlalu lama menyiksa diriku sendiri dengan terus menerus bertahan di jalan-jalan dan tempat-tempat yang sering menorehkan luka sedikit demi sedikit hingga kini telah menumpuk dan belum juga terobati. Luka lama ini tak kan pernah mengering sampai aku pergi. Pergi ke kota lain yang belum pernah kujejaki dan mendamaikanku di awal cerita baru. Kota yang akan menghidupkanku kembali menjadi manusia yang dipenuhi energi positif.”
            “Kemana kau akan pergi?”
            Ashifa terdiam. Menatap lekat Iban yang duduk di sampingnya. Ada kegetiran di sebalik sorot mata Ashifa. Kegetiran yang selalu menemani langkahnya sejak ia mulai mengenal arti kedurhakaan dan perselingkuhan.
            Iban yang dikenalnya dua tahun ini menjadi bahasa baru dalam hidup Ashifa. Bahasa baru yang mewarnai pikiran Ashifa dan dapat mendebarkan jantungnya setiap kali menuangkan gelora asmara ke dalam bahasa baru, bahasa cinta.
            Iban telah tahu banyak tentang luka hebat yang merampas kebahagiaan Ashifa. Iban ingin sekali membawakan peti untuk menyimpan luka-luka Ashifa, tapi Iban belum mampu. Ia belum punya cukup uang untuk membeli peti itu.
            “Tak perlu bagus, tak perlu mewah yang penting kuat menyimpan banyak luka dan yang terpenting lagi adalah harus terkunci rapat agar tidak ada yang berani membobol. Agar luka-luka itu tetap tersimpan rapi di dalam peti. Setelah semua luka berada di dalam peti, lalu dikubur bersama dengan kuncinya.”
            Kalimat yang dilontarkan Ashifa tempo hari sebenarnya menjadi bahan renungan untuk Iban, tapi Iban tetap bersikukuh ingin membawakan peti yang bagus karena kualitasnya pasti jauh lebih baik dibandingkan dengan peti biasa. Iban ingin memberikan peti yang bagus agar kuat menyimpan banyak luka seperti yang diinginkan Ashifa. Berbulan-bulan Iban mengumpulkan uang untuk membeli peti, namun sampai dengan pertemuannya kini bersama Ashifa di taman dekat danau, Iban belum juga sanggup membelikan peti yang bagus.
            Iban ingin sekali membahagiakan Ashifa, walau dirinya sendiri telah dipenuhi banyak luka yang mulai memborok dan Ashifa tidak pernah mengetahui itu. Iban sengaja tak menceritakan perihal duri-duri tajam yang menimbulkan luka pada dirinya, karena Iban masih berusaha untuk berdamai dengan borok yang kian lama kian menggerogoti pikiran dan hatinya. Iban juga tak ingin menambah beban pada Ashifa yang baru diketahui mencintainya.
            Ashifa baru menyatakan perasaannya hari ini. Di taman dekat danau yang merupakan taman biasanya mereka bertemu dan ini adalah pertemuan terakhir mereka di kota penuh luka. Bagi Ashifa, kota ini layak disebut kota mati. Kota yang memangsa penghuninya sendiri, termasuk Ashifa.
            Aris, kakak Ashifa yang psikopat. Sering dihajar ayah dan saudara lain setelah aksinya terendus. Bahkan dihajar masa ketika aksinya kebobolan. Ke luar masuk penjara sudah menjadi rutinitasnya. Orang tuanya termasuk dari kalangan berada, tapi entah mengapa sejak kecil Aris selalu mencuri barang milik orang lain. Padahal jika meminta, orang tuanya masih sanggup membelikan.
            “Seperti ada yang mendorong kakak untuk melakukannya. Suara itu selalu mengikuti kakak. Apalagi setiap kali kakak melihat barang-barang milik orang lain, suara itu semakin kuat mendorong kakak untuk mengambilnya diam-diam.”
            Sudah berulang kali Ashifa mengatakan pada kakaknya bahwa itu adalah dorongan hawa nafsunya sendiri. Sudah berulang kali pula Ashifa menasihati kakaknya untuk menahan diri, melawan hawa nafsu, tapi nyatanya tak juga membuat kelakuan Aris berubah walaupun perlahan. Seorang psikiater sudah pernah turun tangan, tapi akhirnya angkat tangan. Ruqyah juga sudah pernah dilakukan, tapi tetap tak ada hasil. Sampai suatu ketika Aris diusir dari rumah. Tak lagi dianggap sebagai bagian dari keluarga. Kedua orang tua sudah tak lagi menganggapnya anak.
            Kisah yang dialami Aris dianggap sebagai duri-duri tajam yang setia menemani duri-duri lainnya di dalam otak dan hati Ashifa.
            Ayahnya Ashifa pernah berangkat haji, maka beliau adalah seseorang yang mendapat gelar haji, hingga siapapun yang memanggil pastilah dengan sebutan pak haji. Namun siapa sangka, bahkan Ashifa pun tak pernah menyangka bahwa ayahnya sendiri yang seorang haji sering senggol sana sini. Belum puas dengan istrinya, lantas bermain ranjang dengan wanita lain. Wanita-wanita muda yang doyan daun tua.
Sejak kecil Ashifa sering melihat bermacam wanita masuk ke dalam rumah tanpa diketahui ibunda Ashifa. Ayahnya tak pernah mengancam Ashifa untuk tutup mulut karena ayahnya tahu anaknya yang perempuan itu masih ingusan. Kalaupun Ashifa bertanya siapa wanita itu, ayahnya selalu menjawab enteng bahwa wanita itu teman sekantornya. Melulu begitu dalihnya setiap kali membawa wanita lain lagi masuk ke dalam rumah.
“Memangnya teman-teman sekantor ayah wanita semua ya?” pikirnya.
Hingga Ashifa beranjak remaja, kedua orang tuanya ribut besar. Mendeburkan gelombang pasang hingga warga yang mendengar bergegas ke luar dari dalam rumah masing-masing. Para tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Ashifa berduyun-duyun mengintip. Tak mau ketinggalan adegan menegangkan.
Seorang wanita ke luar dari dalam rumah Ashifa dengan wajah tertunduk malu. Semua mata tetangga seolah menudingnya sebagai wanita penggoda, perusak rumah tangga orang lain. Wanita itu berpapasan dengan Ashifa yang akan masuk ke dalam rumah. Kedatangan Ashifa tentu membuat semua mata yang melihat menjadi kikuk dan mereka langsung kembali ke rumah masing-masing, berpura-pura sibuk dengan pekerjaan rumahnya.
Ashifa heran dan bergegas masuk ke dalam rumah. Di pintu rumah ia berpapasan dengan ayahnya yang setengah berlari ke luar. Semua mata tetangga kembali menumpuk di depan rumah Ashifa. Mereka masih dipenuhi rasa penasaran untuk mengetahui bagaimana ending dari adegan dramatik itu.
Ibunda Ashifa tumbang di lantai, menangis pilu. Meja hijau dipilih sebagai jalan tengah. Menjadi solusi bagi permasalahan kedua orang tua Ashifa.
Itulah sekelumit masalah yang mendera Ashifa yang membuatnya ingin pergi dari kota ini dan memeluk kota lain. Ashifa ingin berenang dengan damai. Menyelami dunia tanpa duri-duri tajam yang diberikan orang-orang terkasihnya. Kalaupun di kota lain Ashifa kembali ditusuk duri tajam, biarlah duri itu berenang damai bersamanya karena duri tajam itu bukanlah duri dari orang-orang yang dikasihinya, melainkan dari orang-orang yang akan membesarkan namanya. Orang-orang yang akan membantunya memetikan duri-duri kelam dan membantu menggalikan kuburan untuk tempat menyimpan peti bersama kuncinya. Biarlah duri baru itu tertabung dengan sendirinya karena duri tajam itu bukanlah duri dari tempat-tempat kelam, melainkan dari tempat-tempat bersejarah yang akan lahir menjadi rekam jejak sebelum ia berhasil.
Ia akan meninggalkan Iban yang juga mencintainya diam-diam. Meninggalkan Iban yang masih memendam duri di dalam tubuhnya.
Iban, lelaki yang dibesarkan tanpa mimpi, tanpa memiliki keinginan, dan harapan. Lelaki yang dituntut untuk tidak besar menjadi seorang penulis karena menjadi penulis artinya menjadi pemimpi, pemberontak, dan hidup kere terus-menerus.
Sejak dirinya senang menulis, semua anggota keluarga memicingkan mata. Menganggap enteng tulisan-tulisannya dan juga menganggap remeh pekerjaan seorang penulis. Sebenarnya kedua orang tuanya hanya ketakutan jika Iban hidup melarat kalau hanya dengan mengandalkan keahliannya menulis.
“Hanya?” begitu pikirnya.
Padahal Iban ingin sekali mendalami karya pena, namun di sisi lain tak ingin durhaka pada kedua orang tua. Akhirnya Iban memilih menomorduakan menulis. Orang tua Iban berharap anak semata wayangnya dapat meneruskan usaha warung keluarga.
Di danau ini, di tempat biasanya bertemu, Iban meminta maaf pada Ashifa, karena belum bisa membawakan peti dan Ashifa meminta maaf pada Iban, karena harus pergi meninggalkan kota ini. Kota yang belum bisa memberikan kebahagiaan untuknya. Pergi meninggalkan Iban yang masih sabar bercinta dengan duri-duri. Meninggalkannya yang juga mencintainya.

Cirebon, 11 Februari 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen Duri yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 07.04

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.