TIGA KELINCI IBU
Ibu
membawa tiga kelinci berwarna putih ke dalam rumah di waktu yang berbeda.
Kelinci pertama yang dibawa ibu memiliki bulu-bulu halus, serta mata yang indah,
dan bertubuh montok.
Aku sempat berpikir
apakah kelinci yang dibawa ibu mampu bertahan hidup di hawa panas di kota
pesisir? Sedangkan sejak lahir telah tinggal di hawa dingin di kampung halaman
ibu.
Ibu
terlihat sangat menyukai kelinci ini. Katanya tidak galak, jadi aku tidak perlu
takut. Kutatap lekat kelinci ibu. Kelihatannya ini tipe kelinci yang baik.
Kandang
yang sudah dipersiapkan ibu sebelum kelinci datang tidaklah besar, namun tidak
juga kecil. Bersih dan di dalamnya
tersimpan kasur juga selimut.
Hari
pertama kelinci ibu begitu asik bermain denganku. Hari kedua sampai dua bulan
lamanya, kelinci ibu tidak sekali pun sakit karena perbedaan hawa di sini
dengan di kampung halaman ibu.
Dugaanku
keliru. Kukira kelinci ibu riwayatnya akan sama dengan kelinci yang dimiliki
salah seorang kawanku yang mati karena hawa panas.
“Kelinci aku mati. Pagi
sih aku lihat masih ada. Pas siang pulang sekolah masih ada juga. Sore juga ada,
tapi udah mati! Kepanasan sih!”
Hawa panas? Benarkah
kelinci akan mati bila berada di hawa panas? Sepertinya pemikiranku telah
terkontaminasi oleh perkataan salah seorang kawanku itu tanpa melakukan riset
terlebih dahulu.
Kelinci ibu yang masih
tetap hidup sampai sekarang telah memupuskan anggapanku bahwa kelinci akan
cepat mati bila berada di hawa panas. Jadi kelinci kawanku yang mati itu bukan
karena berada di hawa panas, melainkan karena sistem perawatan yang asal.
Kandang kelinci kawanku
terlihat kotor, tidak tersedia kasur dan selimut, bahkan kelincinya tidak teratur
makan, karena kawanku sebagai majikan jarang memberi makan, tubuhnya juga dibiarkan
kotor.
Hari
demi hari kulalui bersama kelinci ibu. Ibu terlihat begitu memperhatikannya.
Biasanya kelinci ibu bisa
membersihkan badannya sendiri di tempat yang sudah tersedia. Sengaja
dipersiapkan sebelum kehadirannya. Tapi memasuki bulan ketiga, kelinci ibu
mulai terlihat manja. Mulai minta dimandikan ayah. Ayah jelas tidak keberatan karena
ayah tahu semakin rajin kelinci dibersihkan, semakin terlihat cantik pula.
Seringkali peralatan mandi ibu dipakai oleh kelinci ibu saat ayah
memandikannya. Ibu tidak pernah tahu. Ibu percaya, kelinci yang selama ini
tinggal bersama kami adalah kelinci yang pintar dan baik.
Biasanya ketika aku tidur
siang kelinci ibu pun ikut tidur di sampingku. Tapi kali ini ketika aku membuka
mata, kelinci ibu entah ke mana. Kucari ke kandangnya, tak ada.
Saat aku sibuk mencari,
tiba-tiba terdengar desah pria dari balik pintu kamar ibu. Kukira ibu dan ayah
janjian di rumah siang ini untuk saling melepas rindu.
“Tumben,” pikirku. Aku
tersenyum di depan pintu kamar ibu.
Tak lama terdengar isak
tangis dari dalam kamar ibu. Tidak mungkin salah seorang dari kedua orang tuaku
menangis setelah saling melepas rindu. Rasa penasaran mendera, menuntun
langkahku menuju jendela kamar ibu. Kuintip dari jendela apa yang terjadi.
Ayah menutup res sleting,
lalu mengelus bulu-bulu halus kelinci ibu. Diciumnya kelinci ibu yang terkapar tak
berdaya di atas kasur sambil menangis. Ayah yang masih telanjang dada
membisikan kalimat yang menjadi harapan bagi kelinci ibu.
“Kalau hamil, saya
tanggung jawab!”
Sambil terisak, kelinci
ibu mengangguk. Ayah menciumnya. Aku jijik. Sangat jijik!
Setelah kejadian itu, aku
semakin menjaga jarak dengan kelinci ibu, bahkan seringkali aku menggalakinya.
Tapi malah aku yang dimarahi ibu.
“Jangan galak! Nanti
kabur loh. Nanti siapa yang nemenin Ozan kalau ibu belum datang. Ayah juga kan
sibuk di kantornya.”
“Ayah hanya berpura-pura
sibuk, tapi kalau ibu sudah berangkat kerja, itulah saat yang menjadi
kesempatan ayah untuk bisa bercinta dengan kelinci ibu,” gerutuku dalam hati.
Suatu ketika, setelah
selesai bercerita di malam hari, ibu tertidur di kamarku. Aku pun sudah
terlelap. Tiba-tiba terdengar suara tangisan histeris dari ruangan lain. Ibu
menghilang dari sampingku. Kutelusuri arah tangisan itu. Ternyata ibu sedang
berdiri menangis di depan kandang kelinci.
Ayah kepergok tengah
bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang. Begitu teriris hati ibu melihat
suaminya sendiri berzina dengan kelinci kesayangan ibu. Kelinci kesayangan ibu
terlihat sekarat dan ayah dengan wajah kebingungan setengah mati meminta maaf
pada ibu.
Malam ini ibu tidur
bersamaku hingga pagi hari. Ayah tidur di kamarnya dan kelinci ibu tidur di
dalam kandangnya. Apakah ibu terpikirkan untuk mengubah kebiasaan tidurnya
bersama ayah menjadi tidur bersamaku? Atau ibu sengaja tidur bersamaku memberi
kesempatan pada ayah agar bisa tidur bersama kelinci ibu lagi? Atau ibu memang
cemburu karena ayah bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang yang sengaja
dibuatkan sebelum kelinci ibu datang?
Esok harinya kelinci ibu
sudah tak lagi ada di kandangnya dan aku bertanya pada ibu,
“Apa karena Ozan sangat
galak ya, makanya jadi kabur?”
Ibu menggeleng sambil
tersenyum.
“Bukan karena Ozan. Ozan
anak baik. Ozan ngga galak.”
Setelah kejadian itu, ayah
masih tetap tinggal bersamaku dan ibu. Ibu sangat berjiwa besar. Mau mencoba
memaafkan ayah, walau memakan waktu yang tidak sebentar. Soal kelinci ibu,
dengar-dengar sudah melahirkan.
Ibu memilih untuk
menitipkanku pada nenek agar sehari-harinya aku ada kawan bermain karena di
rumah nenek banyak anak-anak seusiaku. Pagi diantar pulang dijemput. Aku sih
senang, tapi ibu sepertinya mulai jenuh dengan kebiasaan yang sudah dilakukan
dua tahun ini.
Ibu memutuskan untuk
membawa satu kelinci baru. Bukan dari kampung halaman, tapi dari kota lain.
Lewat kawan ibu kelinci baru didapat. Pertama melihat kelinci baru yang dibawa
ibu, aku tidak suka karena terlihat sinis. Bulu-bulunya memang halus dan
matanya jernih. Tidak montok, tidak sedang, alias kurus.
Dugaanku keliru lagi.
Kelinci ibu sangatlah baik. Jika kami sedang bermain bersama, terpancar
keriangan dari wajahnya. Namun beberapa hari ini kelinci ibu nampak sering
murung. Jika dimintai tolong ayah sering mengacuhkan.
Aku seolah tak lagi ada
kawan bermain semenjak kelinci ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan
mengurung diri di dalam kandang. Melalui celah kandang kulihat kelinci ibu
sekarat. Esok harinya kelinci ibu sudah tak lagi ada di dalam kandangnya. Bukan
mati. Kabur!
Lagi-lagi aku bertanya
pada ibu dengan pertanyaan serupa yang dulu pernah kuajukan setelah ayah
kepergok sedang bercinta dengan kelinci pertama ibu.
“Apa karena Ozan sangat
galak ya, makanya jadi kabur?”
Ibu menggeleng sambil
tersenyum.
“Bukan karena Ozan. Ozan
anak baik. Ozan ngga galak.”
Selang sehari setelah
kaburnya kelinci kedua ibu, datang lagi kelinci baru. Kelinci ketiga ibu.
Kelinci yang sengaja dibawa ibu dari tempat lain di kota ini. Kelinci yang satu
ini lebih manis dibandingkan kelinci-kelinci ibu sebelumnya. Tidak montok, tapi
juga tidak kurus. Sedang. Memiliki bulu-bulu yang sangat halus dan mata yang
indah.
“Setidaknya kelinci ibu yang
satu ini sedari lahir hingga sekarang sudah merasakan hawa pesisir,” pikirku.
Semua kelinci yang dibawa
ibu baik, tapi kenapa kelinci yang satu ini tiba-tiba berubah menjadi galak?
Aku bahkan takut untuk mendekatinya.
Ayahku seringkali
mendekati kelinci ibu dan kelinci ibu tidak pernah galak terhadap ayah. Malah
sangat penurut. Sampai suatu saat, kulihat ayah memeluk kelinci ibu sambil
meraba seluruh tubuhnya. Rabaan yang menjalar dari ujung kepala hingga ujung
kaki.
“Diam!”
Bisik ayah pada kelinci ibu.
Terdengar mengancam. Gunungan bulir air mampu mendobrak kedua kelopak mata
kelinci ibu dan jatuh melalui kedua ujung matanya. Ayah menggiring kelinci ibu
masuk ke dalam kandang. Sesaat setelah pintu kandang tertutup terdengar langkah
sepasang sepatu menghampiriku.
“Ayah mana?”
Terkejut aku melihat ibu
yang sudah berdiri di sampingku. Aku terdiam sambil sesekali mencuri pandang ke
arah pintu kandang. Tatapan ibu kini penuh arti. Seolah penasaran. Penuh
kecurigaan. Ibu menghampiri kandang kelinci.
Lagi-lagi ibu melihat
ayah sedang bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang. Seketika itu juga
pertengkaran hebat terjadi antara ibu dan ayah. Kurekam adegan dramatis
sekaligus ironis itu. Ibu meminta ayah menalaknya hingga tiga kali dan kelinci
ibu nampak sekarat.
Cukup bagi ibu membawa
tiga kelinci ke dalam rumah untuk dijadikan santapan ayah. Cukup pula bagi ibu
untuk tidak meneruskan pernikahannya dengan ayah dan aku kini sudah tak lagi
memiliki kelinci sebagai kawan bermainku. Ibu menggantinya dengan seekor kucing
yang sangat cantik sebagai kawan bermainku. Seekor kucing yang amat kusayangi
bernama Meong.
0 komentar:
Posting Komentar