cerpen

Written By Unknown on Rabu, 25 Februari 2015 | 01.13



TIGA KELINCI IBU

            Ibu membawa tiga kelinci berwarna putih ke dalam rumah di waktu yang berbeda. Kelinci pertama yang dibawa ibu memiliki bulu-bulu halus, serta mata yang indah, dan bertubuh montok.
Aku sempat berpikir apakah kelinci yang dibawa ibu mampu bertahan hidup di hawa panas di kota pesisir? Sedangkan sejak lahir telah tinggal di hawa dingin di kampung halaman ibu.
            Ibu terlihat sangat menyukai kelinci ini. Katanya tidak galak, jadi aku tidak perlu takut. Kutatap lekat kelinci ibu. Kelihatannya ini tipe kelinci yang baik.
            Kandang yang sudah dipersiapkan ibu sebelum kelinci datang tidaklah besar, namun tidak juga kecil.  Bersih dan di dalamnya tersimpan kasur juga selimut.
            Hari pertama kelinci ibu begitu asik bermain denganku. Hari kedua sampai dua bulan lamanya, kelinci ibu tidak sekali pun sakit karena perbedaan hawa di sini dengan di kampung halaman ibu.
            Dugaanku keliru. Kukira kelinci ibu riwayatnya akan sama dengan kelinci yang dimiliki salah seorang kawanku yang mati karena hawa panas.
“Kelinci aku mati. Pagi sih aku lihat masih ada. Pas siang pulang sekolah masih ada juga. Sore juga ada, tapi udah mati! Kepanasan sih!”
Hawa panas? Benarkah kelinci akan mati bila berada di hawa panas? Sepertinya pemikiranku telah terkontaminasi oleh perkataan salah seorang kawanku itu tanpa melakukan riset terlebih dahulu.
Kelinci ibu yang masih tetap hidup sampai sekarang telah memupuskan anggapanku bahwa kelinci akan cepat mati bila berada di hawa panas. Jadi kelinci kawanku yang mati itu bukan karena berada di hawa panas, melainkan karena sistem perawatan yang asal.
Kandang kelinci kawanku terlihat kotor, tidak tersedia kasur dan selimut, bahkan kelincinya tidak teratur makan, karena kawanku sebagai majikan jarang memberi makan, tubuhnya juga dibiarkan kotor.
            Hari demi hari kulalui bersama kelinci ibu. Ibu terlihat begitu memperhatikannya.
Biasanya kelinci ibu bisa membersihkan badannya sendiri di tempat yang sudah tersedia. Sengaja dipersiapkan sebelum kehadirannya. Tapi memasuki bulan ketiga, kelinci ibu mulai terlihat manja. Mulai minta dimandikan ayah. Ayah jelas tidak keberatan karena ayah tahu semakin rajin kelinci dibersihkan, semakin terlihat cantik pula. Seringkali peralatan mandi ibu dipakai oleh kelinci ibu saat ayah memandikannya. Ibu tidak pernah tahu. Ibu percaya, kelinci yang selama ini tinggal bersama kami adalah kelinci yang pintar dan baik.
Biasanya ketika aku tidur siang kelinci ibu pun ikut tidur di sampingku. Tapi kali ini ketika aku membuka mata, kelinci ibu entah ke mana. Kucari ke kandangnya, tak ada.
Saat aku sibuk mencari, tiba-tiba terdengar desah pria dari balik pintu kamar ibu. Kukira ibu dan ayah janjian di rumah siang ini untuk saling melepas rindu.
“Tumben,” pikirku. Aku tersenyum di depan pintu kamar ibu.
Tak lama terdengar isak tangis dari dalam kamar ibu. Tidak mungkin salah seorang dari kedua orang tuaku menangis setelah saling melepas rindu. Rasa penasaran mendera, menuntun langkahku menuju jendela kamar ibu. Kuintip dari jendela apa yang terjadi.
Ayah menutup res sleting, lalu mengelus bulu-bulu halus kelinci ibu. Diciumnya kelinci ibu yang terkapar tak berdaya di atas kasur sambil menangis. Ayah yang masih telanjang dada membisikan kalimat yang menjadi harapan bagi kelinci ibu.
“Kalau hamil, saya tanggung jawab!”
Sambil terisak, kelinci ibu mengangguk. Ayah menciumnya. Aku jijik. Sangat jijik!
Setelah kejadian itu, aku semakin menjaga jarak dengan kelinci ibu, bahkan seringkali aku menggalakinya. Tapi malah aku yang dimarahi ibu.
“Jangan galak! Nanti kabur loh. Nanti siapa yang nemenin Ozan kalau ibu belum datang. Ayah juga kan sibuk di kantornya.”
“Ayah hanya berpura-pura sibuk, tapi kalau ibu sudah berangkat kerja, itulah saat yang menjadi kesempatan ayah untuk bisa bercinta dengan kelinci ibu,” gerutuku dalam hati.
Suatu ketika, setelah selesai bercerita di malam hari, ibu tertidur di kamarku. Aku pun sudah terlelap. Tiba-tiba terdengar suara tangisan histeris dari ruangan lain. Ibu menghilang dari sampingku. Kutelusuri arah tangisan itu. Ternyata ibu sedang berdiri menangis di depan kandang kelinci.
Ayah kepergok tengah bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang. Begitu teriris hati ibu melihat suaminya sendiri berzina dengan kelinci kesayangan ibu. Kelinci kesayangan ibu terlihat sekarat dan ayah dengan wajah kebingungan setengah mati meminta maaf pada ibu.
Malam ini ibu tidur bersamaku hingga pagi hari. Ayah tidur di kamarnya dan kelinci ibu tidur di dalam kandangnya. Apakah ibu terpikirkan untuk mengubah kebiasaan tidurnya bersama ayah menjadi tidur bersamaku? Atau ibu sengaja tidur bersamaku memberi kesempatan pada ayah agar bisa tidur bersama kelinci ibu lagi? Atau ibu memang cemburu karena ayah bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang yang sengaja dibuatkan sebelum kelinci ibu datang?
Esok harinya kelinci ibu sudah tak lagi ada di kandangnya dan aku bertanya pada ibu,
“Apa karena Ozan sangat galak ya, makanya jadi kabur?”
Ibu menggeleng sambil tersenyum.
“Bukan karena Ozan. Ozan anak baik. Ozan ngga galak.”
Setelah kejadian itu, ayah masih tetap tinggal bersamaku dan ibu. Ibu sangat berjiwa besar. Mau mencoba memaafkan ayah, walau memakan waktu yang tidak sebentar. Soal kelinci ibu, dengar-dengar sudah melahirkan.
Ibu memilih untuk menitipkanku pada nenek agar sehari-harinya aku ada kawan bermain karena di rumah nenek banyak anak-anak seusiaku. Pagi diantar pulang dijemput. Aku sih senang, tapi ibu sepertinya mulai jenuh dengan kebiasaan yang sudah dilakukan dua tahun ini.
Ibu memutuskan untuk membawa satu kelinci baru. Bukan dari kampung halaman, tapi dari kota lain. Lewat kawan ibu kelinci baru didapat. Pertama melihat kelinci baru yang dibawa ibu, aku tidak suka karena terlihat sinis. Bulu-bulunya memang halus dan matanya jernih. Tidak montok, tidak sedang, alias kurus.
Dugaanku keliru lagi. Kelinci ibu sangatlah baik. Jika kami sedang bermain bersama, terpancar keriangan dari wajahnya. Namun beberapa hari ini kelinci ibu nampak sering murung. Jika dimintai tolong ayah sering mengacuhkan.
Aku seolah tak lagi ada kawan bermain semenjak kelinci ibu lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengurung diri di dalam kandang. Melalui celah kandang kulihat kelinci ibu sekarat. Esok harinya kelinci ibu sudah tak lagi ada di dalam kandangnya. Bukan mati. Kabur!
Lagi-lagi aku bertanya pada ibu dengan pertanyaan serupa yang dulu pernah kuajukan setelah ayah kepergok sedang bercinta dengan kelinci pertama ibu.
“Apa karena Ozan sangat galak ya, makanya jadi kabur?”
Ibu menggeleng sambil tersenyum.
“Bukan karena Ozan. Ozan anak baik. Ozan ngga galak.”
Selang sehari setelah kaburnya kelinci kedua ibu, datang lagi kelinci baru. Kelinci ketiga ibu. Kelinci yang sengaja dibawa ibu dari tempat lain di kota ini. Kelinci yang satu ini lebih manis dibandingkan kelinci-kelinci ibu sebelumnya. Tidak montok, tapi juga tidak kurus. Sedang. Memiliki bulu-bulu yang sangat halus dan mata yang indah.
“Setidaknya kelinci ibu yang satu ini sedari lahir hingga sekarang sudah merasakan hawa pesisir,” pikirku.
Semua kelinci yang dibawa ibu baik, tapi kenapa kelinci yang satu ini tiba-tiba berubah menjadi galak? Aku bahkan takut untuk mendekatinya.
Ayahku seringkali mendekati kelinci ibu dan kelinci ibu tidak pernah galak terhadap ayah. Malah sangat penurut. Sampai suatu saat, kulihat ayah memeluk kelinci ibu sambil meraba seluruh tubuhnya. Rabaan yang menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Diam!”
Bisik ayah pada kelinci ibu. Terdengar mengancam. Gunungan bulir air mampu mendobrak kedua kelopak mata kelinci ibu dan jatuh melalui kedua ujung matanya. Ayah menggiring kelinci ibu masuk ke dalam kandang. Sesaat setelah pintu kandang tertutup terdengar langkah sepasang sepatu menghampiriku.
“Ayah mana?”
Terkejut aku melihat ibu yang sudah berdiri di sampingku. Aku terdiam sambil sesekali mencuri pandang ke arah pintu kandang. Tatapan ibu kini penuh arti. Seolah penasaran. Penuh kecurigaan. Ibu menghampiri kandang kelinci.
Lagi-lagi ibu melihat ayah sedang bercinta dengan kelinci ibu di dalam kandang. Seketika itu juga pertengkaran hebat terjadi antara ibu dan ayah. Kurekam adegan dramatis sekaligus ironis itu. Ibu meminta ayah menalaknya hingga tiga kali dan kelinci ibu nampak sekarat.
Cukup bagi ibu membawa tiga kelinci ke dalam rumah untuk dijadikan santapan ayah. Cukup pula bagi ibu untuk tidak meneruskan pernikahannya dengan ayah dan aku kini sudah tak lagi memiliki kelinci sebagai kawan bermainku. Ibu menggantinya dengan seekor kucing yang sangat cantik sebagai kawan bermainku. Seekor kucing yang amat kusayangi bernama Meong.

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul cerpen yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 01.13

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.