AKU INGIN MENGGENGGAM MIMPI
Usiaku baru
menginjak lima tahun. Bila mentari pagi menyergap kulitku, aku langsung berlari
ke jendela kamar. Beberapa menit kuhabiskan dengan berdiam diri menatap lekat
jalanan sepi sebelum akhirnya asaku terpasung kenyataan. Namun yang terjadi
tetaplah sama. Ayah selalu memanggil setiap kali memergokiku yang tengah asik
dengan lamunan dan menyuruhku untuk bergegas mandi.
Dalam kamar
mandi kudengar suara kenangan memanggil. Aku bergegas menuju jendela kamar
masih setengah telanjang. Ayah yang tadi memandikanku mengejarku dengan
jengkel.
“Nanti
jatuh! Jangan lari-lari!” Teriak ayah.
Kudekap
kenangan dalam denyut jantungku. Sejengkal harapan kutorehkan dalam setiap
putaran waktu. Di kamar ini, ditemani ocehan ayah, pergelutan dalam hati terasa
begitu kental hingga suara ayah terabaikan. Hilang. Tergusur egoku yang masih
mengutamakan mimpi.
Aku bukan
penakut apalagi pengecut. Kuterima semua kenyataan, tapi tak kan kuterima jika
mimpiku terbunuh.
Dua puluh
lima bulan lalu kukira ibu dan ayah bertemu untuk tujuan berdamai, setidaknya
merumuskan sebuah perjanjian untuk kebahagiaanku. Kebahagiaanku? Rasanya sangat
konyol jika kebahagiaanku ditentukan oleh mereka. Bahagia adalah hak setiap
individu. Bahagia adalah pilihanku dan kuyakin itupun menjadi pilihan semua
orang. Aku akan bahagia dengan jalan hidup yang kupilih sendiri, apapun
risikonya.
Bila
kebahagiaanku ditentukan oleh mereka, itu adalah kebahagiaan mereka, bukan
kebahagiaanku. Kebahagiaanku yang ditentukan mereka adalah formalitas tanpa
isi. Aku belum pernah memaksakan diriku untuk bahagia dan belum pernah memaksa
kedua orang tuaku untuk tidak bahagia.
Aku ingin
orang tuaku bahagia dengan jalan mereka dan aku pun ingin bahagia dengan
jalanku sendiri. Tapi bagaimana caranya agar benang merah di antara kebahagiaan
kami didapatkan? Setidaknya tak perlu menjatuhkan korban.
Di meja ini
tak lagi ada pertengkaran yang biasa kulihat dan yang ada hanya kekikukan. Tak
kan ada korban yang diincar, kecuali aku yang sedari tadi melumuri es krim yang
mulai meleleh. Mulutku belepotan, namun nampaknya kedua orang tuaku sengaja
mengacuhkan agar aku sibuk membersihkan mulut dan tangan yang terkena lelehan
es krim. Mereka ingin agar aku tak menjadi penguping pandai, seperti dulu
ketika aku sering secara diam-diam mendengar perdebatan kedua orang tuaku.
Pernah
sekali waktu ayah memergokiku sedang menguping. Aku berdiri diam di depan kamar
mereka. Daun telinga kubiarkan menyentuh pintu kamar. Kudengar ibu menangis.
Suara ayah mengendap di kasur, bantal, dan guling. Kuletakan rapat-rapat
telingaku pada pintu kamar agar suara ayah terdengar jelas, namun tetap isak
tangis ibu lebih mampu menerobos pintu kamar. Tiba-tiba terdengar pecahan kaca
dari dalam kamar. Ayah ke luar dengan setumpuk kemarahan.
“Anjing!”
Ayah
setengah berlari pergi. Seolah siap menerkam mangsa yang berlari terbirit-birit
menjauhinya. Entah bagaimana wujud mangsa yang akan diterkam ayah. Dekapan
kegetiran ibu mengalir deras hingga tulang sumsumku. Bulir air mendobrak kuat
kedua kelopak mata ibu, membasahi kulit pipi yang belum siap termakan usia.
Malam ini,
di meja bundar aku sengaja berpura-pura sibuk membersihkan lelehan es krim yang
terjatuh di celanaku. Aku ingin menyenangkan hati ibu dan ayah. Dengan
kesibukanku artinya mereka mampu mencetak keberhasilan, buah dari sebuah siasat
yang telah mereka rancang sebelumnya. Tapi aku tak kalah pandai. Kupertajam
pendengaran dan kurekam baik-baik setiap kalimat yang ke luar dari bibir
mereka. Tak perlu kulihat mereka, yang kuperlukan adalah informasi dan untuk
mendapatkannya dengan hanya bermodalkan kedua telinga.
Di meja ini
tak lagi ada saling tuding menuding, tak juga ada saling menjatuhkan,
kalimat-kalimat kasar pun enggan ke luar dari mulut mereka, yang ada hanya
pemborosan waktu. Padahal sejak sentuhan pertama es krim di lidahku, aku
sengaja memakannya dengan sangat lambat agar habis tepat di saat kedua orang
tuaku menutup pembicaraan mereka. Namun ternyata es krim di tanganku lebih dulu
habis sebelum akhirmya sebuah kesimpulan dan keputusan lahir di meja ini.
Kediaman
mereka tak seperti pertemuan pertama kali yang membuat hati mereka serasa
mengawang di udara, bukan juga seperti di malam pertama ketika mereka hendak
bercumbu mesra di dalam kamar dan berangsur pada penyatuan tubuh. Kediaman
mereka sekarang adalah ancaman bagi kami semua yang duduk di meja bundar ini.
Jika aku sudah tidak menyusu lagi pada mereka, mungkin kediaman mereka tak kan
menjadi momok yang menakutkan untukku, justru aku akan langsung sepakat dengan
keputusan yang mereka ambil sebelum kalimat pahit terlontar dari bibir salah
seorang di antara mereka.
Seteguk air
liur membasahi rongga kekeringan di tenggorokan ibu. Kulihat dua hakim mulai
berlaku tak adil.
“Kamu ikut
ibu.”
Aku
terkejut. Kuhentikan segala kebohonganku. Kutaruh tisu bekas lelehan es krim di
atas meja. Kutatap ibu dalam. Tak lagi ada genangan air memenuhi sepasang mata
ibu. Kulihat ayah yang terdiam menatapku. Keputusan ini terlalu menghakimiku.
Kini telah dua tahun kuikuti langkah
ibu tanpa figur seorang ayah. Entah di mana ia sekarang. Tak pernah sekalipun
menjengukku. Tak tahukah ia bahwa aku selalu mengingatnya? Ibu selalu
menyeredku ke dalam sebuah permainan menarik yang dapat menghentikan ingatanku
sesaat pada ayah. Seketika itu juga putaran peristiwa masa lalu mengabur.
Segala cara ibu lakukan untuk menyirnakan kenangan dalam ingatanku. Padahal ibu
tahu betul rangkaian kata, “Siapa yang dapat membunuh kenangan?” Justru ibu
yang menorehkan kalimat itu dalam ingatanku dengan mata yang mendung setelah membaca
salah satu cerpen Agus Noor di hadapanku yang saat itu tengah asik bermain
mobil-mobilan.
Kala itu
kulihat ibu memegangi gagang telepon berdiri membelakangiku yang sedang duduk
minum susu. Suara ibu tak dapat tersadap olehku yang sesekali menaruh curiga.
Semua pakaianku dimasukan ke dalam tas besar. Selepas menghabiskan susu, kami
melangkah pergi, menjauhi pintu rumah. Ibu menggenggam tanganku erat, kami berjalan,
menyebrang, dan naik turun angkot.
Sesampainya
di depan sebuah rumah, barulah kutahu bahwa ibu mengajakku menemui ayah di
rumah nenek. Tak lagi kuberpikir seperti dua tahun lalu saat pertemuan kami di
meja bundar yang kukira bertujuan untuk mengadakan perdamaian atau merumuskan
sebuah perjanjian. Tidak lagi! Sudah bisa dipastikan ini akan seperti dua tahun
lalu saat pertemuan kami di meja bundar, saat mereka melancarkan siasat yang
sudah dirancang sebelumnya, lalu berubah menjadi keputusan yang sangat
menghakimiku.
Kupeluk ibu
erat-erat. Bukan karena merasa asing dengan wajah di hadapan, tapi karena
ketidakberdayaanku yang akan menghadapi keputusan baru yang mungkin terasa
lebih pedih. Kurapatkan tubuhku pada ibu. Bukan karena aku tak ingin dekat
dengan ayah, tapi karena aku merasa asing dengan rumah yang selama dua tahun
tak pernah kukunjungi lagi. Kedekatanku dengan rumah yang telah dihuni olehku
dan ibu selama ini menjadi istana bagiku yang haus akan sosok ayah, sekaligus
menjadi penanggal kerinduanku pada rumah yang dihuni ayah sekarang.
Ibu dan ayah
siap dengan topeng yang telah menempel pada wajah masing-masing guna
mengelabuiku. Terlihat ibu dan ayah bahagia menemaniku bermain mobil-mobilan di
dalam kamar. Namun itu semua hanya kepura-puraan. Dusta! Sama seperti dulu di
meja bundar aku mengelabui mereka dengan topeng yang kupakai. Topeng yang dapat
menggerakan tanganku agar bertingkah sibuk sendiri membersihkan lelehan es
krim.
Aku mulai
lupa sejenak dengan ingatan meja bundar. Kewaspadaanku perlahan berkurang.
Dengan mengendap ibu pergi menjauhiku yang terus membariskan mobil-mobilan di
lantai kamar. Setelah semua mobil berjajar rapi, kuingat ibu. Kucari ke luar
kamar, ke semua ruangan di dalam rumah, ke dalam celah-celah sempit barangkali
ada jejaknya, ke teras, bahkan gang depan rumah. Namun ibu lenyap.
Seharusnya jejak langkah ibu masih
ada di sepanjang gang karena hujan tak menyentuh bumi pagi ini. Semestinya
wangi harum ibu masih tercium sebab angin tak terasa kencang menyetubuhi seisi bumi.
Kenapa jejak ibu tak ada? Bahkan seekor burung pun tak ada yang melihat
kepergiannya. Semua seolah setuju dengan penghakiman yang kuterima. Alam
semesta beserta segala isinya telah sekongkol dengan ibu dan ayah.
“Ibuuu....!” Teriakanku semacam jam
kosong dalam otak. Tak mampu mendatangkan sosok ibu ke hadapanku. Ibu yang
berjalan seiring arah jarum jam yang terus berputar.
Kuinjak-injak mobil-mobilan yang
berjajar rapi dan melempar beberapa di antaranya hingga mengenai pergelangan
tangan ayah yang berdiri di pintu kamar. Ayah tak bergeming sedikitpun.
Sebulan sudah peristiwa memilukan itu
terjadi. Masih membekas di hati dan kini ku hanya bisa menanti mimpi dari balik
jendela hati. Di sini, di sebuah kaca bening di dalam kamar yang dapat
menembuskan pandanganku ke arah gang dan langit-langit biru kutorehkan mimpi
yang tak kan pernah mati, namun “Kematian adalah harga yang pantas untuk semua
mimpi”. Seperti ucapan ibu setelah membaca sebuah cerpen karya Absurditas
Malka.
Jemput aku ibu. Jemput aku yang masih
menunggumu. Jemput aku yang masih ingin menggenggam mimpi bertemu denganmu.
0 komentar:
Posting Komentar