Cerpen Bangku

Written By Unknown on Sabtu, 28 Februari 2015 | 07.06



BANGKU


            Rumah kami sudah jadi. Dari luar terlihat begitu mewah. Isinya pun lengkap dengan barang-barang bermerek. Tinggal satu yang belum tersedia. Bangku. Bagaimana bisa? Bangku yang memiliki peran penting dalam mengisi ruangan di dalam rumah belum ada.
            Kami berdua memang sengaja tidak memesan bangku dari toko mebeul. Kami ingin agar bangku yang nantinya mengisi ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang kerja, dan kamar tidur dibuat oleh tangan kami sendiri.
            Kami sudah memesan kayu jati. Kayu yang memiliki kualitas terbaik di antara kayu-kayu lainnya. Harganya pun sudah pasti lebih mahal.
            Sehari setelah menghuni rumah baru datang kiriman kayu jati. Kami pun langsung bekerja sama membuat bangku. Kuukur kayu dan suamiku giliran menggergaji. Saat suamiku menggergaji kayu, kupaku kayu yang sudah digergaji.
            “Sayang, jangan! Biar aku yang maku.”
            “Ngga apa-apa.”
            “Nanti kaya dulu lagi. Tangan kamu bengkak. Bukannya ngetok paku malah ngetok tangan. Ini tugas laki-laki!”
            Suamiku mengambil palu di tanganku dan memintaku untuk membuatkannya teh. Sambil membuat teh kuperhatikan suamiku dari balik jendela. Saat teh sudah jadi, kutemani ia hingga semua bangku selesai dibuat.
            Tentunya bangku di kamar kami bentuknya paling unik, seperti kursi tahta kerajaan. Suamiku selalu duduk di bangku itu sambil memperhatikanku membaca buku di atas kasur atau saat sedang berpakaian di depan cermin.
            Aku pernah mencoba dan rasanya sama seperti duduk di bangku lain di ruangan lain. Lalu apa yang membuat suamiku begitu betah jika sudah duduk di bangku itu?
            “Aku senang jika melihatmu sedang bercinta dengan duniamu.”
            Mungkin itu yang membuatnya betah duduk berjam-jam hanya sekedar memperhatikanku yang sedang membaca buku.
            “Kamu cantik mah.”
            Ia juga pernah berkata seperti itu ketika aku berganti pakaian.
            Mungkin itu juga yang membuat ia betah duduk berlama hanya sekedar memperhatikanku memilih pakaian di dalam lemari juga pakaian dalam, melepas handuk, memakai pakaian, dan menyisir rambut di depan cermin.
            Malam ini aku tengah membaca buku Segel Lima Elemen yang ditulis oleh kawanku Ade J. Asnira dan seperti biasa, suamiku memperhatikanku dengan lekat. Kubalas tatapannya dengan penuh godaan dan menutup buku yang sedari tadi memanjakan imajiku. Setelah aku termanjakan, kini giliran suamiku yang kumanjakan.
            “Kok udah bacanya?”
            Aku berjalan perlahan mendekati suamiku yang matanya tidak berpaling sedikit pun dariku. Aku berdiri tepat di hadapannya.
            Kubelai wajahnya sambil terus menatap penuh makna. Kucium keningnya, kedua matanya, hidungnya, kedua pipinya, bibir, dan dagunya. Terasa getar cinta kian mengalir deras.
            Kududuk di atasnya. Pahanya tertindih pantatku dan pahaku menyentuh penisnya. Kupeluk ia dengan erat hingga tubuh kami saling beradu. Payudaraku menyentuh dadanya. Jemari tangan kami mulai bermain. Kami saling membuka kancing piama. Seirama. Mulai dari kancing atas. Aku membuka satu kancingnya, begitu pun ia. Ia membuka kancing keduaku, begitu pun aku. Belahan dadaku mulai nampak. Kami bercumbu mesra sambil jemari tangannya mengelus-elus dadaku dan jemari tanganku memegang lehernya. Ia mulai membasahi belahan dadaku. Perlahan naik ke leher dan menggigit membuatku kian erat merapatkan tubuh padanya sambil mendesah lepas.
            “Krek.”
            Seketika adegan romantis kami terhenti. Dengan penuh inisiatif aku berdiri disusul suamiku. Ternyata satu kaki bangku patah. Tanpa melanjutkan adegan romantis, kami pun langsung berdiskusi sambil mengancingi piama masing-masing.
            “Kayu bekas kemarin masih ada?”
            “Ngga ada.”
            “Sedikitpun?”
            Aku mengangguk. “Disambung pake kayu lain aja.”
“Masa satu bangku dengan bahan yang berbeda.”
Sejak saat itu selama berhari suamiku sibuk mencari sisa kayu jati. Bahkan sampai menanyakan pada saudara yang baru saja selesai merehab rumah. Barangkali ada sisa kayu jati. Sayangnya sudah diberikan pada tukang suluh yang setiap hari melewati rumah. Akhirnya kami memesan kembali kayu jati dari tempat yang dulu mengirimkan kayu jati ke rumah untuk kami buat bangku, namun mereka belum bisa memastikan kapan bisa diantar.
“Diborong semua pak. Nanti kalau sudah ada saya langsung antar ke rumah. tapi tidak bisa janji cepat.”
Aku dan suami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Akhirnya kami pergi ke tempat lain. Berharap menemukan kayu jati.
Setelah berkeliling seharian, kami pun menyerah. Akhirnya kayu baujan dipilih untuk dibuat bangku. Kualitasnya memang tak sebagus kayu jati dan harganya lebih murah, tapi tak apa yang penting bangku kami kembali sedia kala. Bisa digunakan untuk duduk sekaligus bercinta.
Malam ini bangku kami telah siap untuk digunakan. Selepas mandi, kulihat suamiku duduk seperti biasa di bangku kamar. Memperhatikanku. Kupilih satu piama di dalam lemari sekaligus pakaian dalam. Kutaruh di atas kasur. Kulepas handuk sambil bercermin. Kulihat suamiku di cermin tetap setia menatapku. Biasanya aku langsung berpakaian, tapi kali ini aku ingin bercinta lebih dulu dengan suamiku sebelum kami tidur.
Kusisir rambutku basah masih tanpa busana. Kudekati ia dan kubelai wajahnya. Mencium keningnya, hidungnya, kedua pipinya, dan dagunya. Kuangkat kedua kakiku dan duduk di atasnya. Jemari suamiku membelai mesra rambutku dan menyentuh seluruh tubuhku. Terasa aliran darah naik begitu cepat. Kami pun bercumbu. Pelukan kian mengerat. Lidahnya mulai menjelajahi belahan dadaku, memutari payudara dan naik hingga ke leher. Desah tak dapat tertahankan.
“Krek.”
Inisiatif untuk berdiri lahir dari kami. Terlihat satu kaki bangku patah lagi. Dengan wajah masam kupakai pakaian dalam dan piamaku.
“Patah lagi, patah lagi! Ngga kuat kali bangkunya dipakai berdua.”
“Padahal kayunya bagus, makunya juga udah bener.”
“Udah ah ngantuk!”
Kurebahkan tubuh membelakangi suamiku yang masih diam memperhatikan kaki bangku yang patah.
Keesokan harinya suamiku membujukku untuk menemaninya mencari kayu. Kayu jati di tempat pertama kami membeli kayu untuk bahan membuat bangku pun tak ada. Di tempat kedua sewaktu kami membeli kayu baujan yang levelnya di bawah kayu jati juga habis diborong orang dan yang ada tinggal kayu belo. Kayu jenis ini tentu kualitasnya tak sebagus kayu jati dan kayu baujan, harganya pun bisa ditebak lebih murah.
Sebenarnya masih ada sisa waktu yang bisa digunakan untuk mencari kayu jati atau kayu baujan, tapi karena saking masih kesalnya aku, kupaksa suamiku untuk membeli kayu seadanya. Kayu yang jelas-jelas sudah ada di depan mata.
Sesampainya di rumah, suamiku begitu bersemangat membuat bangku baru. Tak tega membiarkannya seorang diri, kubuatkan ia teh dan menemaninya hingga selesai.
Bangku baru sudah berhari-hari di dalam kamar dan aku belum juga tertarik untuk mencobanya sambil bercinta dengan suami. Kulangkahkan kaki melewati suamiku yang duduk di bangku barunya, aku ditariknya hingga kami bercumbu mesra.
“Krek.”
Lagi-lagi satu kaki bangku patah. Kusered tubuhku ke atas kasur tanpa mempedulikan suamiku yang tentu saja masih memperhatikan satu kaki bangku yang patah.
Suamiku bersikeras membuat bangku baru dan kejadian seperti itu terus berulang. Berganti kayu meranti, damar, bambu, dan pinus. Banyaknya berganti kayu untuk membuat sebuah bangku di dalam kamar sebanyak itu pula kami selalu gagal bercinta.
Hingga suatu hari, aku sangat merindukan gubuk kami. Kami pun menyambangi. Di dalam gubuk kami hanya ada satu bangku dan ditaruh di dalam kamar. Bangku yang dulu selalu kugunakan untuk duduk sambil bercermin. Bangku yang setia menemaniku saat aku menggauli buku. Bahkan bangku ini kakinya tidak pernah patah jika aku dan suamiku sedang bercinta.
Bangku yang dibuat sendiri oleh suamiku dengan bahan dasar kayu wisnu. Kayu termurah dan mudah didapat. Saking murahnya tidak perlu bayar. Kualitas pun pastilah jauh di bawah kayu jati atau kayu lainnya, tapi kayu ini luar biasa kuat.
Dulu saat masih menghuni gubuk ini, aku tidak pernah membaca buku di atas kasur karena cahaya lampu tidak begitu terang. Jadi aku selalu membaca di bangku karena letak lampu tepat di samping cermin di depan bangku. Terpikir olehku untuk membawa bangku lama kami.
Sesampainya di rumah, entah mengapa aku sangat penasaran dengan kekuatan bangku lama kami, karena lama tak digunakan. Barangkali sudah mulai rapuh termakan rayap. Langsung kugiring suamiku untuk bercinta di bangku lama kami.
Luar biasa! Hingga kami selesai bercinta tak satu pun kaki bangku patah. Memang sungguh luar biasa bangku lama kami. Bangku berbahan dasar kayu wisnu yang levelnya paling bawah yang hingga kini masih kuat menopang tubuhku dan tubuh suamiku saat kami sedang bercinta.



Cirebon, 14 Februari 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen Bangku yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 07.06

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.