BANGKU
Rumah kami
sudah jadi. Dari luar terlihat begitu mewah. Isinya pun lengkap dengan
barang-barang bermerek. Tinggal satu yang belum tersedia. Bangku. Bagaimana
bisa? Bangku yang memiliki peran penting dalam mengisi ruangan di dalam rumah
belum ada.
Kami berdua
memang sengaja tidak memesan bangku dari toko mebeul. Kami ingin agar bangku
yang nantinya mengisi ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang kerja, dan
kamar tidur dibuat oleh tangan kami sendiri.
Kami sudah
memesan kayu jati. Kayu yang memiliki kualitas terbaik di antara kayu-kayu
lainnya. Harganya pun sudah pasti lebih mahal.
Sehari
setelah menghuni rumah baru datang kiriman kayu jati. Kami pun langsung bekerja
sama membuat bangku. Kuukur kayu dan suamiku giliran menggergaji. Saat suamiku
menggergaji kayu, kupaku kayu yang sudah digergaji.
“Sayang,
jangan! Biar aku yang maku.”
“Ngga
apa-apa.”
“Nanti kaya
dulu lagi. Tangan kamu bengkak. Bukannya ngetok paku malah ngetok tangan. Ini
tugas laki-laki!”
Suamiku
mengambil palu di tanganku dan memintaku untuk membuatkannya teh. Sambil
membuat teh kuperhatikan suamiku dari balik jendela. Saat teh sudah jadi,
kutemani ia hingga semua bangku selesai dibuat.
Tentunya
bangku di kamar kami bentuknya paling unik, seperti kursi tahta kerajaan.
Suamiku selalu duduk di bangku itu sambil memperhatikanku membaca buku di atas
kasur atau saat sedang berpakaian di depan cermin.
Aku pernah
mencoba dan rasanya sama seperti duduk di bangku lain di ruangan lain. Lalu apa
yang membuat suamiku begitu betah jika sudah duduk di bangku itu?
“Aku senang
jika melihatmu sedang bercinta dengan duniamu.”
Mungkin itu
yang membuatnya betah duduk berjam-jam hanya sekedar memperhatikanku yang
sedang membaca buku.
“Kamu cantik
mah.”
Ia juga
pernah berkata seperti itu ketika aku berganti pakaian.
Mungkin itu
juga yang membuat ia betah duduk berlama hanya sekedar memperhatikanku memilih
pakaian di dalam lemari juga pakaian dalam, melepas handuk, memakai pakaian,
dan menyisir rambut di depan cermin.
Malam ini
aku tengah membaca buku Segel Lima Elemen yang ditulis oleh kawanku Ade J.
Asnira dan seperti biasa, suamiku memperhatikanku dengan lekat. Kubalas
tatapannya dengan penuh godaan dan menutup buku yang sedari tadi memanjakan
imajiku. Setelah aku termanjakan, kini giliran suamiku yang kumanjakan.
“Kok udah bacanya?”
Aku berjalan
perlahan mendekati suamiku yang matanya tidak berpaling sedikit pun dariku. Aku
berdiri tepat di hadapannya.
Kubelai
wajahnya sambil terus menatap penuh makna. Kucium keningnya, kedua matanya,
hidungnya, kedua pipinya, bibir, dan dagunya. Terasa getar cinta kian mengalir
deras.
Kududuk di
atasnya. Pahanya tertindih pantatku dan pahaku menyentuh penisnya. Kupeluk ia
dengan erat hingga tubuh kami saling beradu. Payudaraku menyentuh dadanya.
Jemari tangan kami mulai bermain. Kami saling membuka kancing piama. Seirama.
Mulai dari kancing atas. Aku membuka satu kancingnya, begitu pun ia. Ia membuka
kancing keduaku, begitu pun aku. Belahan dadaku mulai nampak. Kami bercumbu
mesra sambil jemari tangannya mengelus-elus dadaku dan jemari tanganku memegang
lehernya. Ia mulai membasahi belahan dadaku. Perlahan naik ke leher dan
menggigit membuatku kian erat merapatkan tubuh padanya sambil mendesah lepas.
“Krek.”
Seketika
adegan romantis kami terhenti. Dengan penuh inisiatif aku berdiri disusul
suamiku. Ternyata satu kaki bangku patah. Tanpa melanjutkan adegan romantis,
kami pun langsung berdiskusi sambil mengancingi piama masing-masing.
“Kayu bekas
kemarin masih ada?”
“Ngga ada.”
“Sedikitpun?”
Aku
mengangguk. “Disambung pake kayu lain aja.”
“Masa satu bangku dengan bahan yang
berbeda.”
Sejak saat itu selama berhari suamiku
sibuk mencari sisa kayu jati. Bahkan sampai menanyakan pada saudara yang baru
saja selesai merehab rumah. Barangkali ada sisa kayu jati. Sayangnya sudah
diberikan pada tukang suluh yang setiap hari melewati rumah. Akhirnya kami
memesan kembali kayu jati dari tempat yang dulu mengirimkan kayu jati ke rumah
untuk kami buat bangku, namun mereka belum bisa memastikan kapan bisa diantar.
“Diborong semua pak. Nanti kalau
sudah ada saya langsung antar ke rumah. tapi tidak bisa janji cepat.”
Aku dan suami tidak bisa menunggu
lebih lama lagi. Akhirnya kami pergi ke tempat lain. Berharap menemukan kayu
jati.
Setelah berkeliling seharian, kami
pun menyerah. Akhirnya kayu baujan dipilih untuk dibuat bangku. Kualitasnya
memang tak sebagus kayu jati dan harganya lebih murah, tapi tak apa yang
penting bangku kami kembali sedia kala. Bisa digunakan untuk duduk sekaligus
bercinta.
Malam ini bangku kami telah siap
untuk digunakan. Selepas mandi, kulihat suamiku duduk seperti biasa di bangku
kamar. Memperhatikanku. Kupilih satu piama di dalam lemari sekaligus pakaian
dalam. Kutaruh di atas kasur. Kulepas handuk sambil bercermin. Kulihat suamiku
di cermin tetap setia menatapku. Biasanya aku langsung berpakaian, tapi kali
ini aku ingin bercinta lebih dulu dengan suamiku sebelum kami tidur.
Kusisir rambutku basah masih tanpa
busana. Kudekati ia dan kubelai wajahnya. Mencium keningnya, hidungnya, kedua
pipinya, dan dagunya. Kuangkat kedua kakiku dan duduk di atasnya. Jemari
suamiku membelai mesra rambutku dan menyentuh seluruh tubuhku. Terasa aliran
darah naik begitu cepat. Kami pun bercumbu. Pelukan kian mengerat. Lidahnya
mulai menjelajahi belahan dadaku, memutari payudara dan naik hingga ke leher.
Desah tak dapat tertahankan.
“Krek.”
Inisiatif untuk berdiri lahir dari
kami. Terlihat satu kaki bangku patah lagi. Dengan wajah masam kupakai pakaian
dalam dan piamaku.
“Patah lagi, patah lagi! Ngga kuat
kali bangkunya dipakai berdua.”
“Padahal kayunya bagus, makunya juga
udah bener.”
“Udah ah ngantuk!”
Kurebahkan tubuh membelakangi suamiku
yang masih diam memperhatikan kaki bangku yang patah.
Keesokan harinya suamiku membujukku
untuk menemaninya mencari kayu. Kayu jati di tempat pertama kami membeli kayu
untuk bahan membuat bangku pun tak ada. Di tempat kedua sewaktu kami membeli
kayu baujan yang levelnya di bawah kayu jati juga habis diborong orang dan yang
ada tinggal kayu belo. Kayu jenis ini tentu kualitasnya tak sebagus kayu jati
dan kayu baujan, harganya pun bisa ditebak lebih murah.
Sebenarnya masih ada sisa waktu yang
bisa digunakan untuk mencari kayu jati atau kayu baujan, tapi karena saking
masih kesalnya aku, kupaksa suamiku untuk membeli kayu seadanya. Kayu yang
jelas-jelas sudah ada di depan mata.
Sesampainya di rumah, suamiku begitu
bersemangat membuat bangku baru. Tak tega membiarkannya seorang diri, kubuatkan
ia teh dan menemaninya hingga selesai.
Bangku baru sudah berhari-hari di dalam
kamar dan aku belum juga tertarik untuk mencobanya sambil bercinta dengan
suami. Kulangkahkan kaki melewati suamiku yang duduk di bangku barunya, aku
ditariknya hingga kami bercumbu mesra.
“Krek.”
Lagi-lagi satu kaki bangku patah.
Kusered tubuhku ke atas kasur tanpa mempedulikan suamiku yang tentu saja masih
memperhatikan satu kaki bangku yang patah.
Suamiku bersikeras membuat bangku
baru dan kejadian seperti itu terus berulang. Berganti kayu meranti, damar,
bambu, dan pinus. Banyaknya berganti kayu untuk membuat sebuah bangku di dalam
kamar sebanyak itu pula kami selalu gagal bercinta.
Hingga suatu hari, aku sangat
merindukan gubuk kami. Kami pun menyambangi. Di dalam gubuk kami hanya ada satu
bangku dan ditaruh di dalam kamar. Bangku yang dulu selalu kugunakan untuk
duduk sambil bercermin. Bangku yang setia menemaniku saat aku menggauli buku.
Bahkan bangku ini kakinya tidak pernah patah jika aku dan suamiku sedang
bercinta.
Bangku yang dibuat sendiri oleh
suamiku dengan bahan dasar kayu wisnu. Kayu termurah dan mudah didapat. Saking
murahnya tidak perlu bayar. Kualitas pun pastilah jauh di bawah kayu jati atau
kayu lainnya, tapi kayu ini luar biasa kuat.
Dulu saat masih menghuni gubuk ini,
aku tidak pernah membaca buku di atas kasur karena cahaya lampu tidak begitu
terang. Jadi aku selalu membaca di bangku karena letak lampu tepat di samping
cermin di depan bangku. Terpikir olehku untuk membawa bangku lama kami.
Sesampainya di rumah, entah mengapa
aku sangat penasaran dengan kekuatan bangku lama kami, karena lama tak
digunakan. Barangkali sudah mulai rapuh termakan rayap. Langsung kugiring
suamiku untuk bercinta di bangku lama kami.
Luar biasa! Hingga kami selesai
bercinta tak satu pun kaki bangku patah. Memang sungguh luar biasa bangku lama
kami. Bangku berbahan dasar kayu wisnu yang levelnya paling bawah yang hingga
kini masih kuat menopang tubuhku dan tubuh suamiku saat kami sedang bercinta.
Cirebon, 14 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar