LELAKI BERMATA MENDUNG
Jangan tersenyum padaku karena aku
tahu matamu tak bicara soal ladang luas, gunung, ataupun laut juga soal senja
atau malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bukan pula soal balon-balon di acara
pesta ulang tahun atau dekorasi ruangan untuk acara pesta pernikahan. Matamu
mengandung mendung.
Namun walaupun begitu, aku tetap
dapat melihat adegan-adegan romantis di balik kisruhnya hatiku. Peluk erat
jemari, senyum saling menggoda, bahkan jurus-jurus andalan semisal
gombal-gembel ke luar dari mulut. Untung saja tak sampai kulihat cumbuan mesra
apalagi sampai berpelukan di bawah rintik hujan seperti yang banyak
dipertontonkan dalam adegan film atau sinetron.
Argh, kenapa kau tetap memaksaku
untuk terus menonton? Melihatmu memilih pakaian yang cocok, memakai parfum
bermerek, menyisir rambut berlama di depan cermin, bahkan membuka dus sepatu
baru.
Aku menggerutu, tapi tetap saja aku
berenang dalam matamu luas, kemudian tenggelam. Aku berteriak meminta tolong,
tapi tak ada satu pun yang menghampiriku, menolongku, dan mengangkatku dari
derita. Terasa tubuhku terhempas ke dasar air.
Tarjo, tukang supir Pak Dani rela
menceburkan diri hanya demi menolongku sebelum akhirnya aku mati karena
kebodohanku sendiri. Tak terhitung berapa banyak air yang ke luar dari mulutku,
tapi yang jelas Tarjo tak membuang muka karena jijik saat aku muntah.
“Kamu kalau ngga bisa berenang, ya
jangan berenang”
“Kenapa jangan? Bukankah bisa karena
terbiasa?”
“Tapi ya tetap harus ada yang
mendampingi. Lagian kamu aneh-aneh aja. Berenang pake pakaian begitu”
Tarjo membuka ikatan kain di
pinggangku yang masih bau amis dan terlihat bercak kuning bekas kunyit.
Seingatku opor juga sempat tumpah dan mengenai kain itu. Ditentengnya kain yang
baru dilepas dari pinggangku dan dibawanya melangkah ke dekat kolam.
“Ini sih harus diganti airnya.”
“Aku ngga punya bikini.”
“Apa? Hahahaha, kamu nih ngawur. Mau
diusir Pak Dani? Tunggu, aku ambil handuk dulu.”
Aku tertunduk malu. Padahal sebelum
aku rela menceburkan diri aku yakin aku mampu. Terdengar jelas ledekan
burung-burung yang terbang mengitari hatiku bimbang. Terdengar jelas obrolan
bunga-bunga yang menyudutkanku, walaupun mereka berbisik. Tatapan tajam
kuhadiahi pada beberapa bunga yang tertawa terbahak.
“Dasar
tidak tahu berterima kasih. Setiap hari, pagi dan sore aku sirami, tapi
sekarang kalian malah menyodorkan kalimat-kalimat yang terasa pahit. Mulai
besok tak kan lagi ada air,” gerutuku dalam hati berlabel nano-nano tanpa rasa
manis.
Aku
makin bisu dengan wajah lesu dan hati yang beku.
“Nih.”
Magic.
Begitu mengejutkan. Sepotong tangan menyodorkan segelas air teh.
“Lain
kali kalau mau belajar renang jangan sungkan minta aku tuk ngajari.”
Maluku
memuncak. Air liur terasa kering. Kuseruput air teh. Terasa begitu
menghangatkan. Masuk ke dalam mulut, bercampur dengan lidah yang lama kelu,
terjun melewati tenggorokan, masuk ke dalam perut yang semula kosong lalu
terisi penuh oleh air kolam dan kembali kosong setelah kumuntahkan. Hangatnya
teh menjalar ke hati, otak, hingga mengisi penuh seluruh tubuh.
“Jangan
berbuat bodoh lagi.”
Kalimat
terakhir yang dilontarkannya sebelum pergi meninggalkanku yang masih menahan
malu dan masih menunggu Tarjo, si tukang kebun.
Sepatu
berhak tinggi, dress bermerek yang membentuk lekuk tubuh memperlihatkan betis,
paha, dan bahu sampai ke pergelangan tangan. Begitu transparan. Ditambah rambut
terurai panjang masih tetap disenangi kaum adam.
Bagaimana
denganku juga kawan-kawan yang senasib dan seperjuangan bersamaku yang kata
kebanyakan orang melulu makan tempat dan memiliki gerakan lambat. Tak adakah
ruang kosong bagi hati yang gersang untuk berlabuh?
Hey,
cepatlah kau kedipkan mata, agar aku bisa istirahat sejenak dari masa lalu yang
menghimpit hatiku, membuat sesak dadaku, dan meledakan otakku.
“Uni....
Uni.... Uni.... “
Terdengar
suara menggema memanggil memecah sunyi. Entah dari arah mana. Mataku berkeliling
menyisir seisi ruangan.
“Uni....
“
Suara
mirip hantu perempuan memanggil tokoh seri dalam film layar lebar. Hantu
berwajah pucat berambut panjang berpakaian putih. Aku pun berlaku sama seperti
para pemain di film layar lebar bergenre horor.
“Suara
siapa itu?”
“Uni!”
Aku
tertegun menatap sosok perempuan ramping nan cantik di hadapanku. Rambut sebahu
berkulit putih. Tersenyum padaku. Bukan horor.
Tak
butuh waktu lama untuk menghentikan senyum perempuan bak model yang katanya bertubuh
ideal itu. Dengan suara menggertak batinku mengusir.
“Pergi!”
Sekejap
mata perempuan itu hilang. Namun bukan hilang untuk selamanya, melainkan
berpindah tempat tepat di samping dia bermata mendung.
Kuhempaskan
tubuhku pada malam dan kuabaikan tumpukan cerita lelaki bermata mendung tentang
keterpaksaan hatinya menerima perjodohan.
Tarjo.
Hey, bagaimana kabarnya? Sedang apa dia sekarang? Pasti dia sangat kerepotan.
Bagaimana tidak. Tukang kebun itu kini merangkap tugas sebagai pembantu rumah
tangga.
0 komentar:
Posting Komentar