cerpen

Written By Unknown on Rabu, 25 Februari 2015 | 01.25



LELAKI BERMATA MENDUNG

            Jangan tersenyum padaku karena aku tahu matamu tak bicara soal ladang luas, gunung, ataupun laut juga soal senja atau malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bukan pula soal balon-balon di acara pesta ulang tahun atau dekorasi ruangan untuk acara pesta pernikahan. Matamu mengandung mendung.
            Namun walaupun begitu, aku tetap dapat melihat adegan-adegan romantis di balik kisruhnya hatiku. Peluk erat jemari, senyum saling menggoda, bahkan jurus-jurus andalan semisal gombal-gembel ke luar dari mulut. Untung saja tak sampai kulihat cumbuan mesra apalagi sampai berpelukan di bawah rintik hujan seperti yang banyak dipertontonkan dalam adegan film atau sinetron.
            Argh, kenapa kau tetap memaksaku untuk terus menonton? Melihatmu memilih pakaian yang cocok, memakai parfum bermerek, menyisir rambut berlama di depan cermin, bahkan membuka dus sepatu baru.
            Aku menggerutu, tapi tetap saja aku berenang dalam matamu luas, kemudian tenggelam. Aku berteriak meminta tolong, tapi tak ada satu pun yang menghampiriku, menolongku, dan mengangkatku dari derita. Terasa tubuhku terhempas ke dasar air.
            Tarjo, tukang supir Pak Dani rela menceburkan diri hanya demi menolongku sebelum akhirnya aku mati karena kebodohanku sendiri. Tak terhitung berapa banyak air yang ke luar dari mulutku, tapi yang jelas Tarjo tak membuang muka karena jijik saat aku muntah.
            “Kamu kalau ngga bisa berenang, ya jangan berenang”
            “Kenapa jangan? Bukankah bisa karena terbiasa?”
            “Tapi ya tetap harus ada yang mendampingi. Lagian kamu aneh-aneh aja. Berenang pake pakaian begitu”
            Tarjo membuka ikatan kain di pinggangku yang masih bau amis dan terlihat bercak kuning bekas kunyit. Seingatku opor juga sempat tumpah dan mengenai kain itu. Ditentengnya kain yang baru dilepas dari pinggangku dan dibawanya melangkah ke dekat kolam.
            “Ini sih harus diganti airnya.”
            “Aku ngga punya bikini.”
            “Apa? Hahahaha, kamu nih ngawur. Mau diusir Pak Dani? Tunggu, aku ambil handuk dulu.”
            Aku tertunduk malu. Padahal sebelum aku rela menceburkan diri aku yakin aku mampu. Terdengar jelas ledekan burung-burung yang terbang mengitari hatiku bimbang. Terdengar jelas obrolan bunga-bunga yang menyudutkanku, walaupun mereka berbisik. Tatapan tajam kuhadiahi pada beberapa bunga yang tertawa terbahak.
“Dasar tidak tahu berterima kasih. Setiap hari, pagi dan sore aku sirami, tapi sekarang kalian malah menyodorkan kalimat-kalimat yang terasa pahit. Mulai besok tak kan lagi ada air,” gerutuku dalam hati berlabel nano-nano tanpa rasa manis.
Aku makin bisu dengan wajah lesu dan hati yang beku.
“Nih.”
Magic. Begitu mengejutkan. Sepotong tangan menyodorkan segelas air teh.
“Lain kali kalau mau belajar renang jangan sungkan minta aku tuk ngajari.”
Maluku memuncak. Air liur terasa kering. Kuseruput air teh. Terasa begitu menghangatkan. Masuk ke dalam mulut, bercampur dengan lidah yang lama kelu, terjun melewati tenggorokan, masuk ke dalam perut yang semula kosong lalu terisi penuh oleh air kolam dan kembali kosong setelah kumuntahkan. Hangatnya teh menjalar ke hati, otak, hingga mengisi penuh seluruh tubuh.
“Jangan berbuat bodoh lagi.”
Kalimat terakhir yang dilontarkannya sebelum pergi meninggalkanku yang masih menahan malu dan masih menunggu Tarjo, si tukang kebun.
Sepatu berhak tinggi, dress bermerek yang membentuk lekuk tubuh memperlihatkan betis, paha, dan bahu sampai ke pergelangan tangan. Begitu transparan. Ditambah rambut terurai panjang masih tetap disenangi kaum adam.
Bagaimana denganku juga kawan-kawan yang senasib dan seperjuangan bersamaku yang kata kebanyakan orang melulu makan tempat dan memiliki gerakan lambat. Tak adakah ruang kosong bagi hati yang gersang untuk berlabuh?
Hey, cepatlah kau kedipkan mata, agar aku bisa istirahat sejenak dari masa lalu yang menghimpit hatiku, membuat sesak dadaku, dan meledakan otakku.
“Uni.... Uni.... Uni.... “
Terdengar suara menggema memanggil memecah sunyi. Entah dari arah mana. Mataku berkeliling menyisir seisi ruangan.
“Uni.... “
Suara mirip hantu perempuan memanggil tokoh seri dalam film layar lebar. Hantu berwajah pucat berambut panjang berpakaian putih. Aku pun berlaku sama seperti para pemain di film layar lebar bergenre horor.
“Suara siapa itu?”
“Uni!”
Aku tertegun menatap sosok perempuan ramping nan cantik di hadapanku. Rambut sebahu berkulit putih. Tersenyum padaku. Bukan horor.
Tak butuh waktu lama untuk menghentikan senyum perempuan bak model yang katanya bertubuh ideal itu. Dengan suara menggertak batinku mengusir.
“Pergi!”
Sekejap mata perempuan itu hilang. Namun bukan hilang untuk selamanya, melainkan berpindah tempat tepat di samping dia bermata mendung.
Kuhempaskan tubuhku pada malam dan kuabaikan tumpukan cerita lelaki bermata mendung tentang keterpaksaan hatinya menerima perjodohan.
Tarjo. Hey, bagaimana kabarnya? Sedang apa dia sekarang? Pasti dia sangat kerepotan. Bagaimana tidak. Tukang kebun itu kini merangkap tugas sebagai pembantu rumah tangga.

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul cerpen yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 01.25

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.