Cerpen : Sepasang Mata Bisu

Written By Unknown on Senin, 02 Maret 2015 | 00.46



SEPASANG MATA BISU

“Tidurlah sayang. Tidur dalam ingatan. Selama mentari masih memeluk. Berdamailah sayang. Tetap berdamai dengan kata-kata. Selagi aku masih bisa menjamahmu dalam puisi.”
            Sepasang kaki lincah mendekatiku saat kutuliskan itu. Kukira ia akan menepuk bahuku atau menutup kedua mataku dengan jemarinya, tapi itu tidaklah terjadi dan sepasang kaki itu tak membuka percakapan seperti biasanya. Ia langsung menyapa mimpi di depan rak buku sastra yang tepat berada di hadapanku. Sebelum pilihannya jatuh pada satu buku, jemarinya menyentuh lembut satu persatu buku-buku yang berjajar di hadapannya. Kakinya jinjit, masih mencari buku di rak atas dan telunjuknya berhenti di satu buku. Ia terlihat kesulitan. Pandangannya berkeliling, seperti mencari seseorang yang berkenan menolongnya. Di titik cinta ia tersenyum.
            Aku beranjak dari kursi dan mendekatinya yang belum juga bersua. Kuambilkan sebuah buku yang diinginkannya. Ia tersenyum kembali dan menunduk sambil menuju ke kursi disusul diriku yang tak ingin melepaskannya. Sekarang kami duduk berhadapan.
            Ia terlihat begitu asik menggauli buku. Kata demi kata dicumbunya dengan penuh cinta. Seperti aku yang mulai belajar mencumbu makna. Kugeser buku tugasku, karena aku ingin sedikit berselingkuh dengan puisi. Pertemuan pertama dengannya menuntunku untuk menceburkan diri dalam karya pena.
            Keesokan harinya di siang hari, ia lebih dulu berada di meja kami. Meja yang akan menjadi saksi sejarah pertemuan kami berulang kali. Ia terlihat gelisah, tak seperti biasanya. Kududuk di hadapannya yang sudah siap dengan pulpen dan secarik kertas kosong.
            Sepasang mata itu, bukanlah mata gadis yang biasanya kutemui di perpustakaan ini. Bukanlah sepasang mata gadis dari pemilik kaki lincah itu. Kaki yang selalu melompat dari satu rak buku ke rak buku lainnya.
            “Ada yang bisa saya bantu?”
            Ia tersenyum ragu dan menuliskan sesuatu lalu disodorkannya padaku.
            “Sepasang mata bisu mencoba menempuh jalur waktu.”
            Kurasa ini akan menjadi perkenalan kami. Kubalas dengan menduga.
            “Sepasang kaki mampu mendampingimu menempuh jalur waktu.”
            Kusodorkan sepenggal kalimat balasan untuknya. Senyum simpul utuh tersuguh untukku. Dilipatnya kertas dan dimasukan ke dalam saku tepat di dadanya.
            Esoknya kami berjumpa lagi. Lusa pun sama dan hari-hari berikutnya juga tak luput dari pertemuan kami. Kami selalu berlomba datang lebih awal. Aku selalu berusaha duduk di kursi perpustakaan sebelum ia datang. Jangan sampai aku terlambat, karena bila itu terjadi, maka aku kalah dan hukumanku adalah menuliskan puisi untuknya. Ternyata ia yang selalu kalah dan kekalahan itu membuatnya sering menuliskan puisi untukku. Tentu ini justru menjadikanku sebagai kolektor puisi-puisinya dan menurutku kekalahannya bukanlah beban baginya, karena tulisan-tulisannya memang sudah sering dimuat di media cetak. Beda dengan diriku yang menyetubuhi karya pena baru di permukaan saja.
Aku selalu berbangga diri jika belum melihatnya duduk di kursi perpustakaan, karena itu artinya aku disiplin waktu dan setia pada janji. Aku juga selalu berbahagia jika ia menepuk bahuku atau menutup mataku ketika ia datang, lalu berkisah mengenai hal yang dialaminya selama perjalanan menuju perpustakaan. Kisah yang selalu menjadi alasan adalah sudah barang tentu baginya.
“Ada demo, macet total, makanya telat.”
“Kamu sengaja ya datang terlambat terus-menerus supaya kamu bisa mengasah tulisan-tulisanmu? Supaya predikat penulis selalu melekat pada dirimu? Kamu sudah jadi penulis!”
“Belum! Dan mungkin kamu yang akan lebih dulu jadi penulis. Penulis besar dibandingkanku! Buktinya kamu lebih dulu sampai ke perpustakaan untuk melahap buku-buku sastra yang ada di sini.”
Aku tidak pernah mendengar ia meminta maaf karena keterlambatannya. Katanya meminta maaf merupakan pantangan baginya.
“Untuk apa minta maaf kalau kesalahan terus diulangi.” Begitu ucapnya. Aku mengernyit.
            Kami telah memakan banyak waktu untuk saling mengenal. Hingga suatu saat ketika ia menyetubuhi buku kulihat keringat bercucuran dari keningnya. Ia duduk beku dan perlahan nafasnya tersengal-sengal, seperti terikat kencang. Aku mulai panik, begitupun seisi perpustakaan. Kudekati ia yang telungkup di atas meja dengan sesak yang kian meraja. Kupegang tangannya erat yang berkeringat dingin. Perpustakaan mulai riuh. Sesak yang dirasakannya kini menjalariku hingga aku tertindih kekosongan. Aku terjatuh tepat di hatinya.
            “Lingga.”
            Suaranya memanggilku. Bahuku terasa hangat disentuhnya. Aku terhenyak. Bangkit dari tidur dan menoleh kepadanya yang berdiri tepat di sampingku. Tanpa berpikir panjang dan dengan muka tebal kupeluk ia. Ia pun membalas pelukanku erat.
            “Maafkan aku Lingga.”
            “Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu Intan.”
            “Aku juga.”
            Kami hanyut dalam rindu. Walau semua mata memandang kami lekat, namun cinta telah merobohkan rasa malu.
            Penjaga perpustakaan memperhatikan.
            “Lingga. Lingga!”
            Aku terhenyak lagi. Penjaga perpustakaan memanggilku.
“Bagaimana bisa cepat lulus kalau tiap lagi ngumpulin bahan-bahan skripsi kerjamu malah tidur melulu. Keinginanmu untuk menjadi penulis kan sudah tercapai. Intan pasti senang jika kekasihnya selain jadi penulis juga mampu jadi sarjana.”
Kulihat semua pelanggan perpustakaan sudah meninggalkan tempatnya. Tinggal aku. Jam dinding menunjukan pukul empat. Penjaga perpustakaan siap dengan kuncinya melangkah ke luar. Aku bergegas menaruh beberapa buku di rak buku. Secarik kertas terjatuh dari buku sastra yang sempat kubaca.
            “Sepasang mata bisu mencoba menempuh jalur waktu. Sepasang kaki mampu mendampingimu menempuh jalur waktu.”
            Kulangkahkan kaki ke luar perpustakaan. Intan telah menungguku, namun seketika lenyap.

Cirebon, 10 Februari 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen : Sepasang Mata Bisu yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 00.46

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.