SEPASANG
MATA BISU
“Tidurlah
sayang. Tidur dalam ingatan. Selama mentari masih memeluk. Berdamailah sayang.
Tetap berdamai dengan kata-kata. Selagi aku masih bisa menjamahmu dalam puisi.”
Sepasang kaki lincah mendekatiku
saat kutuliskan itu. Kukira ia akan menepuk bahuku atau menutup kedua mataku
dengan jemarinya, tapi itu tidaklah terjadi dan sepasang kaki itu tak membuka
percakapan seperti biasanya. Ia langsung menyapa mimpi di depan rak buku sastra
yang tepat berada di hadapanku. Sebelum pilihannya jatuh pada satu buku, jemarinya
menyentuh lembut satu persatu buku-buku yang berjajar di hadapannya. Kakinya
jinjit, masih mencari buku di rak atas dan telunjuknya berhenti di satu buku.
Ia terlihat kesulitan. Pandangannya berkeliling, seperti mencari seseorang yang
berkenan menolongnya. Di titik cinta ia tersenyum.
Aku beranjak dari kursi dan
mendekatinya yang belum juga bersua. Kuambilkan sebuah buku yang diinginkannya.
Ia tersenyum kembali dan menunduk sambil menuju ke kursi disusul diriku yang
tak ingin melepaskannya. Sekarang kami duduk berhadapan.
Ia terlihat begitu asik menggauli
buku. Kata demi kata dicumbunya dengan penuh cinta. Seperti aku yang mulai
belajar mencumbu makna. Kugeser buku tugasku, karena aku ingin sedikit
berselingkuh dengan puisi. Pertemuan pertama dengannya menuntunku untuk menceburkan
diri dalam karya pena.
Keesokan harinya di siang hari, ia
lebih dulu berada di meja kami. Meja yang akan menjadi saksi sejarah pertemuan
kami berulang kali. Ia terlihat gelisah, tak seperti biasanya. Kududuk di
hadapannya yang sudah siap dengan pulpen dan secarik kertas kosong.
Sepasang mata itu, bukanlah mata
gadis yang biasanya kutemui di perpustakaan ini. Bukanlah sepasang mata gadis
dari pemilik kaki lincah itu. Kaki yang selalu melompat dari satu rak buku ke
rak buku lainnya.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Ia tersenyum ragu dan menuliskan
sesuatu lalu disodorkannya padaku.
“Sepasang mata bisu mencoba menempuh
jalur waktu.”
Kurasa ini akan menjadi perkenalan
kami. Kubalas dengan menduga.
“Sepasang kaki mampu mendampingimu
menempuh jalur waktu.”
Kusodorkan sepenggal kalimat balasan
untuknya. Senyum simpul utuh tersuguh untukku. Dilipatnya kertas dan dimasukan
ke dalam saku tepat di dadanya.
Esoknya kami berjumpa lagi. Lusa pun
sama dan hari-hari berikutnya juga tak luput dari pertemuan kami. Kami selalu
berlomba datang lebih awal. Aku selalu berusaha duduk di kursi perpustakaan
sebelum ia datang. Jangan sampai aku terlambat, karena bila itu terjadi, maka aku
kalah dan hukumanku adalah menuliskan puisi untuknya. Ternyata ia yang selalu
kalah dan kekalahan itu membuatnya sering menuliskan puisi untukku. Tentu ini justru
menjadikanku sebagai kolektor puisi-puisinya dan menurutku kekalahannya
bukanlah beban baginya, karena tulisan-tulisannya memang sudah sering dimuat di
media cetak. Beda dengan diriku yang menyetubuhi karya pena baru di permukaan
saja.
Aku
selalu berbangga diri jika belum melihatnya duduk di kursi perpustakaan, karena
itu artinya aku disiplin waktu dan setia pada janji. Aku juga selalu berbahagia
jika ia menepuk bahuku atau menutup mataku ketika ia datang, lalu berkisah
mengenai hal yang dialaminya selama perjalanan menuju perpustakaan. Kisah yang
selalu menjadi alasan adalah sudah barang tentu baginya.
“Ada
demo, macet total, makanya telat.”
“Kamu
sengaja ya datang terlambat terus-menerus supaya kamu bisa mengasah
tulisan-tulisanmu? Supaya predikat penulis selalu melekat pada dirimu? Kamu
sudah jadi penulis!”
“Belum!
Dan mungkin kamu yang akan lebih dulu jadi penulis. Penulis besar dibandingkanku!
Buktinya kamu lebih dulu sampai ke perpustakaan untuk melahap buku-buku sastra yang
ada di sini.”
Aku
tidak pernah mendengar ia meminta maaf karena keterlambatannya. Katanya meminta
maaf merupakan pantangan baginya.
“Untuk
apa minta maaf kalau kesalahan terus diulangi.” Begitu ucapnya. Aku mengernyit.
Kami telah memakan banyak waktu
untuk saling mengenal. Hingga suatu saat ketika ia menyetubuhi buku kulihat
keringat bercucuran dari keningnya. Ia duduk beku dan perlahan nafasnya tersengal-sengal,
seperti terikat kencang. Aku mulai panik, begitupun seisi perpustakaan.
Kudekati ia yang telungkup di atas meja dengan sesak yang kian meraja. Kupegang
tangannya erat yang berkeringat dingin. Perpustakaan mulai riuh. Sesak yang
dirasakannya kini menjalariku hingga aku tertindih kekosongan. Aku terjatuh
tepat di hatinya.
“Lingga.”
Suaranya memanggilku. Bahuku terasa
hangat disentuhnya. Aku terhenyak. Bangkit dari tidur dan menoleh kepadanya
yang berdiri tepat di sampingku. Tanpa berpikir panjang dan dengan muka tebal
kupeluk ia. Ia pun membalas pelukanku erat.
“Maafkan aku Lingga.”
“Aku merindukanmu. Sangat
merindukanmu Intan.”
“Aku juga.”
Kami hanyut dalam rindu. Walau semua
mata memandang kami lekat, namun cinta telah merobohkan rasa malu.
Penjaga perpustakaan memperhatikan.
“Lingga. Lingga!”
Aku terhenyak lagi. Penjaga perpustakaan
memanggilku.
“Bagaimana
bisa cepat lulus kalau tiap lagi ngumpulin bahan-bahan skripsi kerjamu malah
tidur melulu. Keinginanmu untuk menjadi penulis kan sudah tercapai. Intan pasti
senang jika kekasihnya selain jadi penulis juga mampu jadi sarjana.”
Kulihat
semua pelanggan perpustakaan sudah meninggalkan tempatnya. Tinggal aku. Jam
dinding menunjukan pukul empat. Penjaga perpustakaan siap dengan kuncinya
melangkah ke luar. Aku bergegas menaruh beberapa buku di rak buku. Secarik
kertas terjatuh dari buku sastra yang sempat kubaca.
“Sepasang mata bisu mencoba menempuh
jalur waktu. Sepasang kaki mampu mendampingimu menempuh jalur waktu.”
Kulangkahkan kaki ke luar
perpustakaan. Intan telah menungguku, namun seketika lenyap.
Cirebon,
10 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar