HUSNUL
KHOTIMAH
Hari demi hari kulalui dengan duka
yang masih menganga. Duka yang selalu mengikuti langkahku. Di kamar ini aku
mulai meneguk kenangan.
Tiga tahun sudah Ashilaa menghilang
dari hadapanku. Lenyap dari dalam sendi-sendi kehidupan, namun tetap nyata
dalam kenangan. Kini ia berada dalam dekap Kekasih Sejatinya. Kekasih yang
selama hidupnya selalu dirindukan dan tak seorangpun yang bisa menggantikanNya.
Seketika, ingatanku memutar
peristiwa.
Teng nong. Teng nong. Bel rumah
berbunyi. Kubuka pintu rumah.
“Surprise!”
“Ashilaa!” Aku dan Ashilaa
berpelukan saling meletupkan rindu.
“Ashilaa mau melanjutkan sekolah di
sini.”
“Apa? Terus gimana sama pondok
kamu?”
“Pondok? Baik-baik aja.”
“Maksudnya, gimana dengan sekolahmu
di sana? Nanggung Ashilaa.”
“Ashilaa udah mantap. Oh ya kak,
Ashilaa punya ini buat kakak. Tadi di bis ada yang jual. Kasihan deh kak, masih
kecil. Sekitar sepuluh tahunan gitu. Ashilaa juga pakai.” Sebuah gelang mute
berwarna hijau diberikan Ashilaa padaku. Ia pun memakai gelang yang sama
warnanya.
Malam harinya forum keluarga dibuka.
Ashilaa nampak tegang berhadapan dengan ibu dan ayah. Ibu sebenarnya agak risau
dengan keputusan yang diambil Ashilaa untuk ke luar dari pondok dan melanjutkan
sekolah di sebuah sekolah menengah favorit bersamaku. Ibu takut Ashilaa akan
menanggalkan hijabnya atau melupakan ilmu yang sudah didapatkannya selama di
pondok. Namun akhirnya ibu dan ayah menyetujui.
“Ashilaa sudah besar. Sudah bisa
menentukan mana yang baik untuk diri Ashilaa sendiri. Insya Allah Ashilaa
mantap dengan keputusan yang Ashilaa ambil.”
“Baiklah. Ibu percaya. Kamu boleh
pindah.”
“Yeee . . . ! Makasih ayah ibu.” Ashilaa
berteriak girang. Memeluk ayah dan ibu.
*
* *
Hari-hari berlalu. Tak ada
kejanggalan kulihat dari Ashilaa selama ia tinggal di rumah dan bersekolah
bersamaku. Ia tak melepaskan hijabnya dan tak meninggalkan ilmu yang sudah
didapatkannya selama di pondok.
Kehadiran Ashilaa di rumah membuat
ibu menyadari kewajiban beliau sebagai seorang perempuan muslim yang wajib
menjaga kehormatan yakni dengan menutup aurat. Kini ibu telah berhijab, namun
aku belum juga terpanggil.
“Kak bangun! Tahajud.”
“Ngantuk.”
“Kalau sudah dibasuh air wudlu juga
jadi ngga ngantuk lagi kok.”
“Nanti aja deh.”
“Nanti kapan kak? Kita kan ngga tahu
umur kita sampai kapan?”
“Iya, iya. Huaaam.” Dengan mata yang
masih mengantuk kupaksakan untuk bangun. Kulihat jam dinding di kamarku yang
menunjukan pukul tiga pagi. Aku berjalan ke kamar mandi ditemani Ashilaa.
Sesampainya di kamar mandi, Ashilaa
menunggu di luar. Aku membuka keran dan berwudlu. Seketika rasa kantukku
hilang. Terasa segar air yang menyentuh kulit. Setelah berwudlu, kulihat
Ashilaa sudah tak lagi berdiri di depan kamar mandi. Kulihat ke dalam kamarnya,
ia sedang membaca Al’Quran.
“Kamu sudah sholat?”
“Sudah. Kakak cepetan sholat, nanti
keburu subuh.”
*
* *
Kuakui aku dan Ashilaa sangatlah
berbeda. Hidayah belum turun padaku.
“Hidayah itu bukan untuk ditunggu,
tapi dicari.”
Begitu kata Ashilaa saat sedang
mengenakan hijabnya. Aku yang sedang menyisir rambut sedikit memikirkan kalimat
yang dilontarkan Ashilaa.
“Kalau dipaksakan yang ada ngga
ikhlas.”
“Terus kapan nunggu ikhlas? Emang
kematian bisa ditunda sampai orang itu bisa ikhlas nerima berpisah dari
keluarganya atau sampai orang itu ikhlas nerima balasan dari Tuhan? Kematian
ngga bisa nunggu kapan orang itu siap, tapi kita yang menunggu kematian dan
selama menunggu itulah kita seharusnya mempersiapkan. Bukan melalaikan.”
Setiap kalimat yang ke luar dari
mulut Ashilaa selalu penuh makna. Tak pernah sedikitpun kurasa ada nada
menggurui, malah rasa sejuk dan damai selalu mendera setiap Ashilaa bicara. Ia
selalu berhati-hati dalam berucap. Namun tetap saja yang dikatakan Ashilaa
belum bisa membuatku berubah seperti yang diinginkannya.
Kalau aku berhijab apa kata orang
nanti? Bagaimana kalau nanti aku ditertawai dan disebut sok alim? Bagaimana
jika nanti ada yang komentar, ‘Tutupi aja dulu hatinya. Kalau hati belum
berhijab jangan sok-sokan berhijab,’ lalu aku harus menjawab apa? Segala
pertanyaan menggenang di otakku.
Belum lagi jika nanti kawan-kawan
saling pamer tawa di depanku dan saling berbisik karena kurang cocoknya wajahku
jika disandingkan dengan hijab. Apa nanti kata Deva? Siswa paling tajir di
sekolah, tampang oke, dan tenar karena anak band. Aku takut ia menjauhiku
sedikit demi sedikit lantaran aku terlihat kuno dengan berhijab. Argh! Bayangan
buruk itu tak boleh terus-menerus merasuki otakku.
“Lebih takut kehilangan Deva atau
surga?” Bisik Ashilaa di telingaku.
“Tapi kan de umur kita masih muda.
Perjalanan kita masih panjang. Wajar dong kalau kakak masih ingin menikmati
hidup dengan cara kakak sebelum keriput.”
“Asal jangan sampai menyesal saja.
Lagipula memangnya dengan berhijab kita jadi ngga bisa menikmati hidup? Hmm,
kakak ini selalu pandai mencari alasan. Belum siaplah, belum ikhlaslah, masih
mudalah. Ya sudah, terserah kakak saja. Sebagai sesama muslim setidaknya
Ashilaa sudah mengingatkan kakak apalagi kita kakak beradik.”
“Iya bu ustadz.”
*
* *
Sudah satu semester Ashilaa menuntut
ilmu di sekolah favorit bersamaku. Nama Ashilaa semakin dikenal di sekolah
lantaran kepandaiannya. Saat upacara, bahkan ia dinobatkan sebagai salah satu
siswi berprestasi di sekolah. Juara umum untuk tingkat kelas satu diraihnya. Ia
berdiri berjajar bersama dua orang lainnya yang juga menjadi juara umum untuk
tingkat kelas dua dan tiga.
Hampir tiga tahun aku bersekolah di
sini, tapi belum sekalipun aku menjadi juara umum. Bisa bertahan di rangking
tiga pun rasanya sudah cukup menggembirakan.
Perlahan Ashilaa menyalipku menjadi
siswi yang paling sering dibicarakan oleh warga sekolah. Terlebih ketika Ashilaa
mengikuti ekstrakulikuler remaja masjid. Ia juga dijadikan kandidat sebagai
wakil ketua OSIS dan posisiku sebagai ketua OSIS sebentar lagi akan lengser.
“De, kalau kamu terpilih jadi wakil
ketua OSIS artinya di tahun depan kamu punya peluang besar menjadi ketua OSIS.
Makanya jangan sia-siakan kesempatan ini. Kamu bisa jadi siswi nomor satu di
sekolah.”
“Hehehe . . . Insya Allah yang
penting amanat. Duluan ya kak.”
Ashilaa berlalu meninggalkanku yang
masih terdiam memikirkan ucapannya di bangku perpustakaan.
“Kenapa
setiap aku bicara selalu terpatahkan? Apa selama ini yang terbesit dalam otakku
dan yang kulakukan adalah keliru?” pikirku.
*
* *
Di dalam kelas saat semua siswa sedang
menunggu kedatangan Pak Beni guru kami, kulihat Ashilaa berjalan membawa tas
mukena dan Al’Quran. Kutengok jam dinding yang berada di depan kelas yang
menunjukan pukul sepuluh.
Saat waktu menunjukan pukul dua
belas tepat ketika jam istirahat, Ashilaa selalu datang ke kelasku untuk mengajakku
sholat dzuhur bersama di masjid.
Iwan, ketua Rohis yang saat itu
berada di masjid menyalamiku dan Ashilaa. Sebenarnya aku sudah lama tahu bahwa
Iwan mengagumi Ashilaa. Ia sendiri yang mengatakannya padaku di dalam kelas,
tapi Iwan tak berani mengungkapkan karena ia tahu Ashilaa adalah gadis yang
senantiasa menjaga dirinya. Menjaga kehormatannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Jawabku dan
Ashilaa.
“Ashilaa, nanti siang jangan lupa
ada rapat remaja masjid buat lomba besok.”
“Insya Allah.”
Sebenarnya selain Iwan masih ada
lagi beberapa pria yang ingin dekat dengan Ashilaa, tapi tak satu pun yang
berani mendekatinya. Ada Erik anak pramuka yang selalu gugup bila bertemu
Ashilaa. Kadang keringat bercucuran dari keningnya jika berhadapan dengan
Ashilaa. Ada Bili anak basket yang sebenarnya dari awal telah jatuh hati pada
Ashilaa, tapi karena coklat yang pernah diberikannya pada Ashilaa justru
dibagikan padaku dan kawan-kawan Ashilaa lainnya akhirnya ia urung. Juga Salya
yang pernah tertangkap basah olehku sedang menulis di buku diarinya tentang
Ashilaa. Kecuali Deva yang lebih menyukai perempuan modern. Modis, mengikuti
trend masa kini.
*
* *
Saat malam memeluk kulihat Ashilaa
duduk di atas kasur sambil menulis di kertas karton. Entah apa yang
dituliskannya. Kupikir ia sedang mengerjakan tugas.
Malam itu Ashilaa tidur bersamaku di
kamarku.
“Tumben tidur di sini.”
“Pengen aja.”
“Tapi kamu tahu kan kalau kakak
lebih senang tidur dalam keadaan lampu dimatikan?”
“Matiin aja.”
“Tumben amat ngga pake ceramah,”
pikirku.
*
* *
Keesokan harinya Ashilaa lebih dulu
berangkat ke sekolah dengan motor metiknya, karena harus mempersiapkan
perlombaan ceramah, MTQ, dan kaligrafi yang akan dilaksanakan di masjid dalam
rangka menyambut bulan ramadhan.
“Kakak berangkat sama papah aja ya.
Ashilaa buru-buru.”
“Ngga
makan dulu?”
“Nanti
aja bu di sekolah. Assalamualaikum.” Ashilaa mengecup pipi ayah, ibu, dan aku
yang masih sarapan di meja makan, lalu berlalu.
“Waalaikumussalam.”
Ayah, ibu, dan aku serempak.
“Tumben,
biasanya aku ngga dicium,” pikirku.
Selesai sarapan, tiba-tiba saja
gelang pemberian Ashilaa yang kupakai terputus talinya. Mute berceceran di
lantai. Rasa gundah menderaku.
Saat perjalanan menuju sekolah, sesampainya
di jarak seratus meter dari sekolah, aku dan ayah melihat kerumunan warga yang
hampir memadati badan jalan. Kubuka sedikit kaca mobil. Aku tak dapat melihat
apapun, kecuali deretan punggung warga dan sebuah tronton yang berhenti di tepi
jalan.
Papah menepikan mobilnya. Tiba-tiba
dari arah berlawanan riuh siswa berlarian ke arah kerumunan. Kulihat Iwan juga
berada di antara siswa yang berlarian dan bergabung bersama kerumunan warga.
Iwan yang melihatku dan papah turun dari dalam mobil langsung berlari mendekati
kami.
“Om, Ashilaa om! Ya Allah, Ashilaa
om.” Iwan terisak dan terlihat panik.
“Kenapa
dengan Ashilaa?” tanya papah mulai ikut panik.
Sambil
terus menangis, Iwan menunjuk ke arah kerumunan.
Aku dan papah segera berlari ke arah
kerumunan. Kulihat mute berwarna hijau berceceran di jalan. Aku dan papah
berusaha menyelip di antara kerumunan.
Masya
Allah! Kulihat Ashilaa tergeletak. Al’Quran yang selalu dibawanya ke sekolah
mengintip dari balik tas Ashilaa yang sobek. Seketika aku pingsan.
*
* *
Ashilaa kini tak lagi di sampingku
untuk mengingatkanku. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam dan ketiadaannya
membuatku sadar bahwa tak ada yang abadi di dunia ini dan tak ada cinta yang
lebih indah dibandingkan cinta pada Kekasih Sejati.
Kutatap lekat kertas karton yang
telah terbingkai cantik dan terpajang di dinding kamar Ashilaa.
Ashilaa,
kini mimpimu terwujud sudah. Kau telah bertemu dengan Kekasih Sejatimu untuk
meleburkan kerinduan. Kau pergi dalam keadaan Husnul Khotimah, adikku sayang.
Seperti yang kau dambakan.
“Kakakmu ini sudah berhijab Ashilaa.
Kakak akan berusaha melaksanakan amalan-amalan baik agar bisa bertemu denganmu
di surga.” Gunungan bulir air kian kuat mendobrak kedua kelopak mataku.
Setetes, dua tetes, sampai deras air mata membasahi kenangan yang akan terus
kubawa berlari.
Selamat jalan Ashilaa. Selamat bertemu
dengan Kekasih Sejatimu.
Cirebon,
27 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar