Husnul Khotimah

Written By Unknown on Sabtu, 14 Maret 2015 | 03.15



HUSNUL KHOTIMAH

            Hari demi hari kulalui dengan duka yang masih menganga. Duka yang selalu mengikuti langkahku. Di kamar ini aku mulai meneguk kenangan.
            Tiga tahun sudah Ashilaa menghilang dari hadapanku. Lenyap dari dalam sendi-sendi kehidupan, namun tetap nyata dalam kenangan. Kini ia berada dalam dekap Kekasih Sejatinya. Kekasih yang selama hidupnya selalu dirindukan dan tak seorangpun yang bisa menggantikanNya.
            Seketika, ingatanku memutar peristiwa.
            Teng nong. Teng nong. Bel rumah berbunyi. Kubuka pintu rumah.
“Surprise!”
            “Ashilaa!” Aku dan Ashilaa berpelukan saling meletupkan rindu.
            “Ashilaa mau melanjutkan sekolah di sini.”
            “Apa? Terus gimana sama pondok kamu?”
            “Pondok? Baik-baik aja.”
            “Maksudnya, gimana dengan sekolahmu di sana? Nanggung Ashilaa.”
            “Ashilaa udah mantap. Oh ya kak, Ashilaa punya ini buat kakak. Tadi di bis ada yang jual. Kasihan deh kak, masih kecil. Sekitar sepuluh tahunan gitu. Ashilaa juga pakai.” Sebuah gelang mute berwarna hijau diberikan Ashilaa padaku. Ia pun memakai gelang yang sama warnanya.
            Malam harinya forum keluarga dibuka. Ashilaa nampak tegang berhadapan dengan ibu dan ayah. Ibu sebenarnya agak risau dengan keputusan yang diambil Ashilaa untuk ke luar dari pondok dan melanjutkan sekolah di sebuah sekolah menengah favorit bersamaku. Ibu takut Ashilaa akan menanggalkan hijabnya atau melupakan ilmu yang sudah didapatkannya selama di pondok. Namun akhirnya ibu dan ayah menyetujui.
            “Ashilaa sudah besar. Sudah bisa menentukan mana yang baik untuk diri Ashilaa sendiri. Insya Allah Ashilaa mantap dengan keputusan yang Ashilaa ambil.”
            “Baiklah. Ibu percaya. Kamu boleh pindah.”
            “Yeee . . . ! Makasih ayah ibu.” Ashilaa berteriak girang. Memeluk ayah dan ibu.
* * *
            Hari-hari berlalu. Tak ada kejanggalan kulihat dari Ashilaa selama ia tinggal di rumah dan bersekolah bersamaku. Ia tak melepaskan hijabnya dan tak meninggalkan ilmu yang sudah didapatkannya selama di pondok.
            Kehadiran Ashilaa di rumah membuat ibu menyadari kewajiban beliau sebagai seorang perempuan muslim yang wajib menjaga kehormatan yakni dengan menutup aurat. Kini ibu telah berhijab, namun aku belum juga terpanggil.
            “Kak bangun! Tahajud.”
            “Ngantuk.”
            “Kalau sudah dibasuh air wudlu juga jadi ngga ngantuk lagi kok.”
            “Nanti aja deh.”
            “Nanti kapan kak? Kita kan ngga tahu umur kita sampai kapan?”
            “Iya, iya. Huaaam.” Dengan mata yang masih mengantuk kupaksakan untuk bangun. Kulihat jam dinding di kamarku yang menunjukan pukul tiga pagi. Aku berjalan ke kamar mandi ditemani Ashilaa.
            Sesampainya di kamar mandi, Ashilaa menunggu di luar. Aku membuka keran dan berwudlu. Seketika rasa kantukku hilang. Terasa segar air yang menyentuh kulit. Setelah berwudlu, kulihat Ashilaa sudah tak lagi berdiri di depan kamar mandi. Kulihat ke dalam kamarnya, ia sedang membaca Al’Quran.
            “Kamu sudah sholat?”
            “Sudah. Kakak cepetan sholat, nanti keburu subuh.”
* * *
            Kuakui aku dan Ashilaa sangatlah berbeda. Hidayah belum turun padaku.
            “Hidayah itu bukan untuk ditunggu, tapi dicari.”
            Begitu kata Ashilaa saat sedang mengenakan hijabnya. Aku yang sedang menyisir rambut sedikit memikirkan kalimat yang dilontarkan Ashilaa.
            “Kalau dipaksakan yang ada ngga ikhlas.”
            “Terus kapan nunggu ikhlas? Emang kematian bisa ditunda sampai orang itu bisa ikhlas nerima berpisah dari keluarganya atau sampai orang itu ikhlas nerima balasan dari Tuhan? Kematian ngga bisa nunggu kapan orang itu siap, tapi kita yang menunggu kematian dan selama menunggu itulah kita seharusnya mempersiapkan. Bukan melalaikan.”
            Setiap kalimat yang ke luar dari mulut Ashilaa selalu penuh makna. Tak pernah sedikitpun kurasa ada nada menggurui, malah rasa sejuk dan damai selalu mendera setiap Ashilaa bicara. Ia selalu berhati-hati dalam berucap. Namun tetap saja yang dikatakan Ashilaa belum bisa membuatku berubah seperti yang diinginkannya.
            Kalau aku berhijab apa kata orang nanti? Bagaimana kalau nanti aku ditertawai dan disebut sok alim? Bagaimana jika nanti ada yang komentar, ‘Tutupi aja dulu hatinya. Kalau hati belum berhijab jangan sok-sokan berhijab,’ lalu aku harus menjawab apa? Segala pertanyaan menggenang di otakku.
            Belum lagi jika nanti kawan-kawan saling pamer tawa di depanku dan saling berbisik karena kurang cocoknya wajahku jika disandingkan dengan hijab. Apa nanti kata Deva? Siswa paling tajir di sekolah, tampang oke, dan tenar karena anak band. Aku takut ia menjauhiku sedikit demi sedikit lantaran aku terlihat kuno dengan berhijab. Argh! Bayangan buruk itu tak boleh terus-menerus merasuki otakku.
            “Lebih takut kehilangan Deva atau surga?” Bisik Ashilaa di telingaku.
            “Tapi kan de umur kita masih muda. Perjalanan kita masih panjang. Wajar dong kalau kakak masih ingin menikmati hidup dengan cara kakak sebelum keriput.”
            “Asal jangan sampai menyesal saja. Lagipula memangnya dengan berhijab kita jadi ngga bisa menikmati hidup? Hmm, kakak ini selalu pandai mencari alasan. Belum siaplah, belum ikhlaslah, masih mudalah. Ya sudah, terserah kakak saja. Sebagai sesama muslim setidaknya Ashilaa sudah mengingatkan kakak apalagi kita kakak beradik.”
            “Iya bu ustadz.”
* * *
            Sudah satu semester Ashilaa menuntut ilmu di sekolah favorit bersamaku. Nama Ashilaa semakin dikenal di sekolah lantaran kepandaiannya. Saat upacara, bahkan ia dinobatkan sebagai salah satu siswi berprestasi di sekolah. Juara umum untuk tingkat kelas satu diraihnya. Ia berdiri berjajar bersama dua orang lainnya yang juga menjadi juara umum untuk tingkat kelas dua dan tiga.
            Hampir tiga tahun aku bersekolah di sini, tapi belum sekalipun aku menjadi juara umum. Bisa bertahan di rangking tiga pun rasanya sudah cukup menggembirakan.
            Perlahan Ashilaa menyalipku menjadi siswi yang paling sering dibicarakan oleh warga sekolah. Terlebih ketika Ashilaa mengikuti ekstrakulikuler remaja masjid. Ia juga dijadikan kandidat sebagai wakil ketua OSIS dan posisiku sebagai ketua OSIS sebentar lagi akan lengser.
            “De, kalau kamu terpilih jadi wakil ketua OSIS artinya di tahun depan kamu punya peluang besar menjadi ketua OSIS. Makanya jangan sia-siakan kesempatan ini. Kamu bisa jadi siswi nomor satu di sekolah.”
            “Hehehe . . . Insya Allah yang penting amanat. Duluan ya kak.”
            Ashilaa berlalu meninggalkanku yang masih terdiam memikirkan ucapannya di bangku perpustakaan.
“Kenapa setiap aku bicara selalu terpatahkan? Apa selama ini yang terbesit dalam otakku dan yang kulakukan adalah keliru?” pikirku.
* * *
            Di dalam kelas saat semua siswa sedang menunggu kedatangan Pak Beni guru kami, kulihat Ashilaa berjalan membawa tas mukena dan Al’Quran. Kutengok jam dinding yang berada di depan kelas yang menunjukan pukul sepuluh.
            Saat waktu menunjukan pukul dua belas tepat ketika jam istirahat, Ashilaa selalu datang ke kelasku untuk mengajakku sholat dzuhur bersama di masjid.
            Iwan, ketua Rohis yang saat itu berada di masjid menyalamiku dan Ashilaa. Sebenarnya aku sudah lama tahu bahwa Iwan mengagumi Ashilaa. Ia sendiri yang mengatakannya padaku di dalam kelas, tapi Iwan tak berani mengungkapkan karena ia tahu Ashilaa adalah gadis yang senantiasa menjaga dirinya. Menjaga kehormatannya.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumussalam.” Jawabku dan Ashilaa.
            “Ashilaa, nanti siang jangan lupa ada rapat remaja masjid buat lomba besok.”
            “Insya Allah.”
            Sebenarnya selain Iwan masih ada lagi beberapa pria yang ingin dekat dengan Ashilaa, tapi tak satu pun yang berani mendekatinya. Ada Erik anak pramuka yang selalu gugup bila bertemu Ashilaa. Kadang keringat bercucuran dari keningnya jika berhadapan dengan Ashilaa. Ada Bili anak basket yang sebenarnya dari awal telah jatuh hati pada Ashilaa, tapi karena coklat yang pernah diberikannya pada Ashilaa justru dibagikan padaku dan kawan-kawan Ashilaa lainnya akhirnya ia urung. Juga Salya yang pernah tertangkap basah olehku sedang menulis di buku diarinya tentang Ashilaa. Kecuali Deva yang lebih menyukai perempuan modern. Modis, mengikuti trend masa kini.
* * *
            Saat malam memeluk kulihat Ashilaa duduk di atas kasur sambil menulis di kertas karton. Entah apa yang dituliskannya. Kupikir ia sedang mengerjakan tugas.
            Malam itu Ashilaa tidur bersamaku di kamarku.
            “Tumben tidur di sini.”
            “Pengen aja.”
            “Tapi kamu tahu kan kalau kakak lebih senang tidur dalam keadaan lampu dimatikan?”
            “Matiin aja.”
            “Tumben amat ngga pake ceramah,” pikirku.
* * *
            Keesokan harinya Ashilaa lebih dulu berangkat ke sekolah dengan motor metiknya, karena harus mempersiapkan perlombaan ceramah, MTQ, dan kaligrafi yang akan dilaksanakan di masjid dalam rangka menyambut bulan ramadhan.
            “Kakak berangkat sama papah aja ya. Ashilaa buru-buru.”
“Ngga makan dulu?”
“Nanti aja bu di sekolah. Assalamualaikum.” Ashilaa mengecup pipi ayah, ibu, dan aku yang masih sarapan di meja makan, lalu berlalu.
“Waalaikumussalam.” Ayah, ibu, dan aku serempak.
“Tumben, biasanya aku ngga dicium,” pikirku.
            Selesai sarapan, tiba-tiba saja gelang pemberian Ashilaa yang kupakai terputus talinya. Mute berceceran di lantai. Rasa gundah menderaku.
            Saat perjalanan menuju sekolah, sesampainya di jarak seratus meter dari sekolah, aku dan ayah melihat kerumunan warga yang hampir memadati badan jalan. Kubuka sedikit kaca mobil. Aku tak dapat melihat apapun, kecuali deretan punggung warga dan sebuah tronton yang berhenti di tepi jalan.
            Papah menepikan mobilnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan riuh siswa berlarian ke arah kerumunan. Kulihat Iwan juga berada di antara siswa yang berlarian dan bergabung bersama kerumunan warga. Iwan yang melihatku dan papah turun dari dalam mobil langsung berlari mendekati kami.
            “Om, Ashilaa om! Ya Allah, Ashilaa om.” Iwan terisak dan terlihat panik.
“Kenapa dengan Ashilaa?” tanya papah mulai ikut panik.
Sambil terus menangis, Iwan menunjuk ke arah kerumunan.
            Aku dan papah segera berlari ke arah kerumunan. Kulihat mute berwarna hijau berceceran di jalan. Aku dan papah berusaha menyelip di antara kerumunan.
Masya Allah! Kulihat Ashilaa tergeletak. Al’Quran yang selalu dibawanya ke sekolah mengintip dari balik tas Ashilaa yang sobek. Seketika aku pingsan.
* * *
            Ashilaa kini tak lagi di sampingku untuk mengingatkanku. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam dan ketiadaannya membuatku sadar bahwa tak ada yang abadi di dunia ini dan tak ada cinta yang lebih indah dibandingkan cinta pada Kekasih Sejati.
            Kutatap lekat kertas karton yang telah terbingkai cantik dan terpajang di dinding kamar Ashilaa.
Ashilaa, kini mimpimu terwujud sudah. Kau telah bertemu dengan Kekasih Sejatimu untuk meleburkan kerinduan. Kau pergi dalam keadaan Husnul Khotimah, adikku sayang. Seperti yang kau dambakan.
            “Kakakmu ini sudah berhijab Ashilaa. Kakak akan berusaha melaksanakan amalan-amalan baik agar bisa bertemu denganmu di surga.” Gunungan bulir air kian kuat mendobrak kedua kelopak mataku. Setetes, dua tetes, sampai deras air mata membasahi kenangan yang akan terus kubawa berlari.
            Selamat jalan Ashilaa. Selamat bertemu dengan Kekasih Sejatimu.



Cirebon, 27 Februari 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Husnul Khotimah yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 03.15

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.