Pak Leman

Written By Unknown on Sabtu, 14 Maret 2015 | 03.17



PAK LEMAN

            Siang ini saya ada pertemuan dengan beberapa kawan saya untuk membicarakan perihal tema yang akan diusung pada film pendek kami selanjutnya. Untuk bisa sampai ke tujuan, saya membutuhkan waktu sekitar satu jam dari rumah.
Terlebih dulu saya berjalan kaki menempuh jarah sekitar seratus meter dari rumah untuk bisa sampai ke jalan raya. Sesampainya di jalan raya, saya melihat beberapa becak berjajar rapi di kanan dan kiri jalan.
Berbagai macam aktivitas dilakukan para pengayuh becak di sela-sela menunggu kehadiran calon penumpang. Ada yang hanya duduk santai di dalam becak, ada yang sedang membeli sebatang rokok di sebuah warung sebelah kanan jalan, ada pula yang ngorok di dalam becaknya, dan juga tiga tukang becak yang berada di dalam gardu sebelah kiri jalan -seorang diantaranya ada yang menggaruk borok di betis kanan, seorang lagi yang terlihat lebih muda dibandingkan dua tukang becak lainnya di dalam gardu memasang muka masam ke arah tukang becak yang sibuk menggaruk borok, dan seorang lainnya berwajah tirus membuka percakapan-.
“Kalau borokmu tidak sembuh-sembuh ke dokter saja. Siapa tahu obat dari puskesmas kurang cocok.”
“Sudah kemarin, pakai Jamkesmas.”
“Sudah?” Dengan mata terbelalak tukang becak berwajah tirus seolah tak percaya. “Ngga cocok juga kali. Itu buktinya, bukannya sembuh malah makin membengkak begitu.”
Seorang tukang becak yang sedari tadi memasang muka masam nampaknya semakin  tidak nyaman berada di dalam gardu. Sepasang matanya yang di awal tajam melihat borok yang digaruk berubah menjadi sepasang mata yang tak karuan berkeliling ke luar gardu. Seolah ingin lepas dari jeratan borok yang semakin digaruk semakin membengkak. Mukanya kian masam, namun ia tetap bertahan di dalam gardu. Mungkin lantaran sebuah pertimbangan yang bertamu. Matahari tepat di atas ubun-ubun.
Jalanan masih ramai dihuni berbagai kendaraan. Roda dua dan empat yang menderu masih mendominasi badan jalan. Becak dan sepeda yang ramah lingkungan tersisihkan jaman. Hanya alasan jarak dekat dan barang bawaan yang menumpuk sajalah yang menjadi alasan penggunaan beca. Untuk sepeda barangkali hanya mereka yang sadar akan kesehatan tubuh dan menyadari bumi yang mesti dijaga dari serbuan polusi udara yang berkenan mengendarainya di samping hobi.
Kutengok gardu yang masih bersahabat dengan tiga penghuninya. Kini sesosok kepala menyembul dari dalam gardu. Kepala tukang beca berwajah masam. Diserednya langkah pongah menjauhi gardu sambil menggerutu.
“Pergi ke dewan mang. Minta disembuhin!”
Dua pasang mata yang tetap setia di dalam gardu tergiring matanya oleh langkah sepasang kaki dari tukang becak berwajah masam yang mulutnya komat-kamit. Tak ingin terlalu lama terperangkap, ditarik kembali sepasang mata mereka dengan gesit, lalu sengaja saling ditubrukan tanpa sekat. Sepasang mata pemilik borok mengernyitkan dahi, mengeruk makna yang dilisankan pemilik wajah masam dan pemilik wajah tirus mengangkat bahunya.
Sebenarnya pemilik wajah tirus telah menduga bahwa pemilik wajah masam nampak tidak merasa nyaman melihat garukan di borok. Hanya saja karena tak ingin menambah borok pada kawannya, pemilik wajah tirus pun memilih tutup mulut, enggan berkomentar perihal tindakan wajah masam.
Sebentar saja tatapan saya telah selingkuh dan kini kembali pada posisi seharusnya. Badan jalan memberi saya kesempatan untuk segera menyebrang. Beberapa angkot yang melintas di hadapan saya sempat berhenti, walau sebenarnya saya tak memberikan pengumuman apa-apa. Saya pun menggeleng pada beberapa angkot yang kemudian melaju meninggalkan saya.
Sampai akhirnya angkot berwarna biru yang rutenya melalui Jalan By Pass mulai terlihat dari kejauhan. Semakin dekat semakin membesar badannya. Saya pun merentangkan tangan kiri mengumumkan diri sebagai calon penumpang.
Di dalam angkot, saya duduk dengan beberapa penumpang pelajar dan seorang yang berpakaian dinas. Lima belas menit pertama dihabiskan dengan lancar, walau beberapa kali berhenti untuk mempersilakan penumpang lain naik dan turun. Di menit berikutnya mulai memasuki ranah macet. Badan jalan yang diapit oleh sekolah dan hotel menjadi kawasan sasaran kemacetan.
Lima menit, sepuluh menit, hingga lima belas menit, semua kendaraan yang melewati jalur ini bagai siput berjalan berat. Beberapa angkot bahkan sengaja berhenti untuk menunggu penumpang naik, membuat kendaraan di belakangnya ikut terhenti. Menambah panjang antrian kendaraan. Menambah jam macet. Polusi suara dari kendaraan roda empat memenuhi jalan ini. Akhirnya beberapa sepeda motor memaksa menerobos pembatas jalan, melaju di sisi jalan.
Semua penumpang di dalam angkot nampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Penumpang berseragam merah putih sibuk dengan handphonenya. Penumpang lain berseragam putih biru mendorong kaca mobil agar angin dapat masuk dan sedikitnya menyeka bulir air yang ke luar dari keningnya. Ada pula penumpang berseragam abu-abu yang sibuk mengipasi diri dengan buku yang diambilnya dari dalam tas. Dan bapak yang berseragam dinas di samping saya perhatiannya tak pernah selingkuh, tetap setia memantau jalan di depan.
Memasuki menit ke dua puluh, angkot kami berhasil melewati jalan sesak. Semakin lengang jalan di depan, semakin kencang tancapan gas angkot yang saya tumpangi. Namun tiba-tiba saja supir mengerem mendadak, membuat saya dan penumpang lain di dalam angkot hampir tersungkur. Kepala supir menyembul sambil berteriak kasar.
“Kirik! Nyebrang hati-hati pak! Kalau situ ketabrak, saya yang harus tanggung jawab!”
“Maaf.”
Saya melihat sesosok tubuh kisut membalut jiwa 45 menepikan becaknya yang kosong tanpa penumpang. Kuterka usianya sekitar delapan puluh tahun. Angkot yang saya tumpangi kembali melaju. Supir masih menggerutu.
“Goblok! Kalau ketabrak saya juga yang harus tanggung jawab, apalagi kalau sampai mati ya pak?” Berharap dirinya dibela oleh bapak yang memakai seragam dinas di sebelah saya, namun beliau hanya tersenyum kecut.
Kepala saya sengaja agak dipelintir agar saya bisa tetap melihat lelaki paruh baya pengayuh becak yang hampir tertabrak tadi. Saya tidak akan mempersoalkan siapa yang salah, karena bagi saya keduanya bersalah. Supir melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, sedangkan kakek pengayuh becak tadi memaksa menyebrang. Dalam hal ini tak ada yang mau mengalah.
Seketika ingatan saya tertuju pada Pak Leman. Pemilik tubuh 78 tahun yang selama ini bekerja sebagai pengayuh becak adalah veteran. Tubuh rakyat yang dulu berada di garis depan bersenjatakan bambu runcing, membelakangi tubuh TNI yang berada di garis belakang bersenjatakan peluru.
Pak Leman yang dulu berjuang untuk Indonesia kini berjuang untuk hidupnya. Setelah kepergian sang istri tercinta, Pak Leman hidup sebatang kara di gubuk dekat pasar. Perjuangan tak pernah henti dikobarkannya demi mendekap erat sebuah kemandirian hidup yang tak boleh terlepas. Seperti kemandirian Indonesia yang telah tercapai setelah tetes demi tetes darah terhampar menjadi lautan di jalan-jalan dan tempat-tempat bersejarah yang ditorehkan oleh para pahlawan bangsa.
Saya agaknya ngilu jika membayangkan Pak Leman dalam posisi seperti lelaki paruh baya pengayuh becak yang sempat tertabrak tadi malah diomeli dengan beringas. Tak adakah rasa iba dalam diri melihat lelaki tua masih bekerja keras guna memenuhi kebutuhan hidupnya? Atau sekedar rasa menghargai terhadap seseorang yang lebih tua apakah memang dirasa terlalu berat?
Terakhir saya bercakap dengan Pak Leman, tubuhnya kepalang rapuh, walau jiwa 45 tetap menancap kuat. Beliau kini tak lagi dapat mengayuh becaknya lantaran sakit yang diderita kian memperparah kondisi fisiknya.
Sebuah pesan yang sampai saat ini masih terngiang dalam ingatan saya adalah agar seluruh penerus bangsa terus mengenang jasa para pahlawan dengan memiliki semangat juang dan selalu amanat.
Pak Leman adalah salah satu dari sekian banyak veteran yang kisah hidupnya menarik untuk diangkat ke permukaan sebagai sebuah perenungan dan pembelajaran hidup. Untuk sejarah, tentu sudah banyak yang tahu bahwa, sejarah seringkali ditinggali penerusnya. Padahal sejarah akan tetap terukir jika generasinya bisa menghargai sejarah. Sejarah memang tinggal sejarah dan biarlah sejarah yang mencatat pengabdian luhur para veteran.

Cirebon, Maret 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Pak Leman yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 03.17

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.