PAK LEMAN
Siang ini saya ada pertemuan dengan
beberapa kawan saya untuk membicarakan perihal tema yang akan diusung pada film
pendek kami selanjutnya. Untuk bisa sampai ke tujuan, saya membutuhkan waktu
sekitar satu jam dari rumah.
Terlebih
dulu saya berjalan kaki menempuh jarah sekitar seratus meter dari rumah untuk
bisa sampai ke jalan raya. Sesampainya di jalan raya, saya melihat beberapa
becak berjajar rapi di kanan dan kiri jalan.
Berbagai
macam aktivitas dilakukan para pengayuh becak di sela-sela menunggu kehadiran
calon penumpang. Ada yang hanya duduk santai di dalam becak, ada yang sedang
membeli sebatang rokok di sebuah warung sebelah kanan jalan, ada pula yang
ngorok di dalam becaknya, dan juga tiga tukang becak yang berada di dalam gardu
sebelah kiri jalan -seorang diantaranya ada yang menggaruk borok di betis
kanan, seorang lagi yang terlihat lebih muda dibandingkan dua tukang becak
lainnya di dalam gardu memasang muka masam ke arah tukang becak yang sibuk
menggaruk borok, dan seorang lainnya berwajah tirus membuka percakapan-.
“Kalau
borokmu tidak sembuh-sembuh ke dokter saja. Siapa tahu obat dari puskesmas
kurang cocok.”
“Sudah
kemarin, pakai Jamkesmas.”
“Sudah?”
Dengan mata terbelalak tukang becak berwajah tirus seolah tak percaya. “Ngga cocok
juga kali. Itu buktinya, bukannya sembuh malah makin membengkak begitu.”
Seorang
tukang becak yang sedari tadi memasang muka masam nampaknya semakin tidak nyaman berada di dalam gardu. Sepasang
matanya yang di awal tajam melihat borok yang digaruk berubah menjadi sepasang
mata yang tak karuan berkeliling ke luar gardu. Seolah ingin lepas dari jeratan
borok yang semakin digaruk semakin membengkak. Mukanya kian masam, namun ia
tetap bertahan di dalam gardu. Mungkin lantaran sebuah pertimbangan yang bertamu.
Matahari tepat di atas ubun-ubun.
Jalanan
masih ramai dihuni berbagai kendaraan. Roda dua dan empat yang menderu masih
mendominasi badan jalan. Becak dan sepeda yang ramah lingkungan tersisihkan
jaman. Hanya alasan jarak dekat dan barang bawaan yang menumpuk sajalah yang
menjadi alasan penggunaan beca. Untuk sepeda barangkali hanya mereka yang sadar
akan kesehatan tubuh dan menyadari bumi yang mesti dijaga dari serbuan polusi
udara yang berkenan mengendarainya di samping hobi.
Kutengok
gardu yang masih bersahabat dengan tiga penghuninya. Kini sesosok kepala
menyembul dari dalam gardu. Kepala tukang beca berwajah masam. Diserednya
langkah pongah menjauhi gardu sambil menggerutu.
“Pergi
ke dewan mang. Minta disembuhin!”
Dua
pasang mata yang tetap setia di dalam gardu tergiring matanya oleh langkah
sepasang kaki dari tukang becak berwajah masam yang mulutnya komat-kamit. Tak
ingin terlalu lama terperangkap, ditarik kembali sepasang mata mereka dengan
gesit, lalu sengaja saling ditubrukan tanpa sekat. Sepasang mata pemilik borok
mengernyitkan dahi, mengeruk makna yang dilisankan pemilik wajah masam dan
pemilik wajah tirus mengangkat bahunya.
Sebenarnya
pemilik wajah tirus telah menduga bahwa pemilik wajah masam nampak tidak merasa
nyaman melihat garukan di borok. Hanya saja karena tak ingin menambah borok
pada kawannya, pemilik wajah tirus pun memilih tutup mulut, enggan berkomentar
perihal tindakan wajah masam.
Sebentar
saja tatapan saya telah selingkuh dan kini kembali pada posisi seharusnya. Badan
jalan memberi saya kesempatan untuk segera menyebrang. Beberapa angkot yang
melintas di hadapan saya sempat berhenti, walau sebenarnya saya tak memberikan
pengumuman apa-apa. Saya pun menggeleng pada beberapa angkot yang kemudian
melaju meninggalkan saya.
Sampai
akhirnya angkot berwarna biru yang rutenya melalui Jalan By Pass mulai terlihat
dari kejauhan. Semakin dekat semakin membesar badannya. Saya pun merentangkan
tangan kiri mengumumkan diri sebagai calon penumpang.
Di
dalam angkot, saya duduk dengan beberapa penumpang pelajar dan seorang yang
berpakaian dinas. Lima belas menit pertama dihabiskan dengan lancar, walau
beberapa kali berhenti untuk mempersilakan penumpang lain naik dan turun. Di
menit berikutnya mulai memasuki ranah macet. Badan jalan yang diapit oleh
sekolah dan hotel menjadi kawasan sasaran kemacetan.
Lima
menit, sepuluh menit, hingga lima belas menit, semua kendaraan yang melewati
jalur ini bagai siput berjalan berat. Beberapa angkot bahkan sengaja berhenti
untuk menunggu penumpang naik, membuat kendaraan di belakangnya ikut terhenti.
Menambah panjang antrian kendaraan. Menambah jam macet. Polusi suara dari
kendaraan roda empat memenuhi jalan ini. Akhirnya beberapa sepeda motor memaksa
menerobos pembatas jalan, melaju di sisi jalan.
Semua
penumpang di dalam angkot nampak sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Penumpang berseragam merah putih sibuk dengan handphonenya. Penumpang lain
berseragam putih biru mendorong kaca mobil agar angin dapat masuk dan
sedikitnya menyeka bulir air yang ke luar dari keningnya. Ada pula penumpang
berseragam abu-abu yang sibuk mengipasi diri dengan buku yang diambilnya dari
dalam tas. Dan bapak yang berseragam dinas di samping saya perhatiannya tak
pernah selingkuh, tetap setia memantau jalan di depan.
Memasuki
menit ke dua puluh, angkot kami berhasil melewati jalan sesak. Semakin lengang
jalan di depan, semakin kencang tancapan gas angkot yang saya tumpangi. Namun
tiba-tiba saja supir mengerem mendadak, membuat saya dan penumpang lain di
dalam angkot hampir tersungkur. Kepala supir menyembul sambil berteriak kasar.
“Kirik!
Nyebrang hati-hati pak! Kalau situ ketabrak, saya yang harus tanggung jawab!”
“Maaf.”
Saya
melihat sesosok tubuh kisut membalut jiwa 45 menepikan becaknya yang kosong
tanpa penumpang. Kuterka usianya sekitar delapan puluh tahun. Angkot yang saya
tumpangi kembali melaju. Supir masih menggerutu.
“Goblok!
Kalau ketabrak saya juga yang harus tanggung jawab, apalagi kalau sampai mati
ya pak?” Berharap dirinya dibela oleh bapak yang memakai seragam dinas di
sebelah saya, namun beliau hanya tersenyum kecut.
Kepala
saya sengaja agak dipelintir agar saya bisa tetap melihat lelaki paruh baya
pengayuh becak yang hampir tertabrak tadi. Saya tidak akan mempersoalkan siapa
yang salah, karena bagi saya keduanya bersalah. Supir melajukan mobil dengan
kecepatan tinggi, sedangkan kakek pengayuh becak tadi memaksa menyebrang. Dalam
hal ini tak ada yang mau mengalah.
Seketika
ingatan saya tertuju pada Pak Leman. Pemilik tubuh 78 tahun yang selama ini
bekerja sebagai pengayuh becak adalah veteran. Tubuh rakyat yang dulu berada di
garis depan bersenjatakan bambu runcing, membelakangi tubuh TNI yang berada di
garis belakang bersenjatakan peluru.
Pak
Leman yang dulu berjuang untuk Indonesia kini berjuang untuk hidupnya. Setelah
kepergian sang istri tercinta, Pak Leman hidup sebatang kara di gubuk dekat
pasar. Perjuangan tak pernah henti dikobarkannya demi mendekap erat sebuah
kemandirian hidup yang tak boleh terlepas. Seperti kemandirian Indonesia yang telah
tercapai setelah tetes demi tetes darah terhampar menjadi lautan di jalan-jalan
dan tempat-tempat bersejarah yang ditorehkan oleh para pahlawan bangsa.
Saya
agaknya ngilu jika membayangkan Pak Leman dalam posisi seperti lelaki paruh
baya pengayuh becak yang sempat tertabrak tadi malah diomeli dengan beringas.
Tak adakah rasa iba dalam diri melihat lelaki tua masih bekerja keras guna
memenuhi kebutuhan hidupnya? Atau sekedar rasa menghargai terhadap seseorang
yang lebih tua apakah memang dirasa terlalu berat?
Terakhir
saya bercakap dengan Pak Leman, tubuhnya kepalang rapuh, walau jiwa 45 tetap
menancap kuat. Beliau kini tak lagi dapat mengayuh becaknya lantaran sakit yang
diderita kian memperparah kondisi fisiknya.
Sebuah
pesan yang sampai saat ini masih terngiang dalam ingatan saya adalah agar
seluruh penerus bangsa terus mengenang jasa para pahlawan dengan memiliki
semangat juang dan selalu amanat.
Pak
Leman adalah salah satu dari sekian banyak veteran yang kisah hidupnya menarik
untuk diangkat ke permukaan sebagai sebuah perenungan dan pembelajaran hidup.
Untuk sejarah, tentu sudah banyak yang tahu bahwa, sejarah seringkali
ditinggali penerusnya. Padahal sejarah akan tetap terukir jika generasinya bisa
menghargai sejarah. Sejarah memang tinggal sejarah dan biarlah sejarah yang
mencatat pengabdian luhur para veteran.
Cirebon, Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar