CINTA
DALAM HATI
Jemariku bergerak dengan sendirinya.
Merangkai kata demi kata untuk sebuah makna, setelah kulihat matanya teduh dan
begitu luas. Aku berenang di dalamnya, tapi ketika kuselami, aku hanya dapat
mengitari permukaannya saja. Aku terlalu takut untuk sampai ke dasar karena di
dalamnya telah hidup seekor paus betina cantik.
Paus itu begitu berbahagia
berenang-renang di dalamnya. Seakan hanya dirinya yang menghuni kawasan itu.
Paus itu terus berenang. Berkeliling tanpa lelah, tanpa batas. Kedua matanya
tak pernah memerah meski seharian siripnya merentang. Semakin lama siripnya
merentang, kedua mata paus itu justru semakin nyala.
Kalaupun paus betina harus pulang ke
kandang, itu hanya untuk sekedar bercermin. Menata diri agar terlihat tetap bersih
dan cantik menarik. Berdandan lama di depan cermin sudah menjadi kewajiban bagi
dirinya sebelum berenang di kawasan luas. Dirinya harus memastikan lebih dulu
akan kepantasan penampilan sebelum akhirnya kedua sirip direntangkan. Dirinya
selalu berusaha memberikan tampilan terbaik demi kawasan yang tak henti memeluk.
Sekali waktu ketika kupaksakan diri
berenang lebih dalam, aku sempat bertemu dengan paus cantik itu. Paus cantik
itu tidak galak, namun karena dirinyalah penguasa kawasan maka aku pun jadi
sungkan dan takut berbuat kesalahan di daerah kekuasaannya.
Saat bertemu, dirinya tersenyum sambil
terus berenang menjauhiku. Dirinya memang paus yang sangat cantik.
Kecantikannya melebihi kecantikan paus-paus berjenis kelamin betina pada
umumnya. Paus-paus betina yang biasa kulihat di sirkus-sirkus atau dalam
tayangan televisi tak bisa menandingi kecantikan paus betina yang kulihat
sendiri dengan kedua mataku kala berselam di kawasan luas. Mungkin paus-paus
betina di sirkus-sirkus atau dalam tayangan televisi tidak pernah berdandan
sebelum tampil. Beda dengan paus betina cantik yang kutemui sendiri, selalu
eksis di depan cermin sebelum tampil di kawasannya sendiri.
Sebagian orang tahu, setelah aku
berselam, aku mengalami kegalauan luar biasa.
“Jangan lekas mundur! Baru ketemu
sekali.”
Begitu kata Lidya, kawan terdekatku.
“Coba terus. Kan belum begitu dalam.
Lagian dia emang dekat dengan siapapun. Mau cewek atau cowok. Mau cantik,
ganteng, jelek, putih, hitam, kaya atau miskin, dia ngga suka beda-bedain.
Masih ada peluang buat dapetin cintanya.”
Itu kata Sinta, kawanku yang lain.
“Tapi yang ini beda. Paling dekat.
Ke mana-mana bareng. Jalan berdua. Bercanda, ketawa-tawa. Cuma berdua!”
“Tapi ke toilet dan masuk kamar ngga
bareng kan? Ngga berdua kan?”
Ujar Lidya. Emang sih kawan yang
satu ini suka ceplas-ceplos kalau ngomong. Suka ngga disaring dulu.
“Ngaco! Ya nggalah, kecuali mereka
udah married.”
“Nah, itu tahu. Santai aja kali
neng. Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih punya kesempatan. Dia masih
bisa jatuh cinta sama yang lain termasuk kamu. Cinta itu harus diperjuangkan!”
Ucap Sinta, kawanku yang hidupnya
selalu dipenuhi motivasi dalam diri.
Mereka terus meyakinkanku untuk
mendekati Revan. Pria yang membuatku diam seribu bahasa ketika kami bertemu,
membuatku kikuk jika didekati, dan membuatku salah tingkah saat kami bicara
berdua. Pria yang membuatku menahan rasa cinta sekaligus menahan rasa kecewa.
“Aku ngga mau jadi perusak hubungan
orang.”
“Emang kamu perusak? Kamu udah
pernah merusak? Hallo Intan, jangan terlalu mendramatisir keadaan. Kita kan
ngga nyuruh kamu untuk merusak. Kita hanya menyarankan agar kamu mendekati
Revan. Dekat ngga salah kan? Yang salah itu kalau Revan udah mulai suka sama kamu
dan kalian pacaran di belakang Sera. Tapi kalau kalian dekat dan Revan mulai
suka sama kamu terus Revan mutusin Sera demi kamu, ngga salah kan? Ngga merusak
kan?”
“Sama aja merusak Lid! Redaksinya
aja yang beda.”
“Eh, tapi Intan, di jaman sekarang
ini urusan rusak merusak itu udah biasa. Lumrah! Pejabat aja merusak jabatannya
sendiri kok. Pemerintah merusak negaranya sendiri. Itu hal yang efeknya luar
biasa luas loh dan dilakukan bukan hanya oleh satu orang. Nah kamu juga bisa.
Apalagi efeknya ngga ada kan?”
“Ngga ada dari hongkong! Sinta,
efeknya itu udah jelas, kalau aku sampai dekat dengan Revan apalagi sampai dia
tahu perasaan aku terus Sera tahu, perang dunia ketiga bisa terjadi. Ngga!
Pokoknya aku ngga mau! Sera itu gadis yang cantik dan baik. Mereka cocok kok.”
“Tapi kamu ngga bisa mendam terus.
Kamu harus bilang sama Revan sejujurnya.”
“Benar banget! Kita dukung kok kalau
kamu mau jujur sama dia. Kalau perlu aku dan Lidya bantu kamu supaya kalian
bisa semakin dekat, jadi peluang kamu untuk jujur semakin terbuka lebar.”
“Ngga perlu cin. Makasih.”
Mereka memang menggebu jika kami
sudah membicarakan Revan. Pasalnya mereka tahu bahwa aku memendam rasa cinta
selama bertahun-tahun lamanya. Lidya dan Sinta memang kawan terbaikku.
Kedekatan kami terjalin sejak kecil, karena mamah kami memang berkawan. Dulu
setiap ada acara arisan mamah kami selalu mengajak kami. Aku, Lidya, dan Sinta
selalu bertemu. Beranjak remaja pun kami masih sering bertemu, tapi bukan di
acara arisan, melainkan acara yang kami buat sendiri.
Kedekatan yang terjalin di antara
kami membuat kami saling terbuka satu sama lain. Mereka lebih dulu punya
kekasih hati, sedangkan aku sampai sekarang masih sendiri. Menunggu cinta yang
entah kapan datang menghampiri.
Mereka sering mengenalkanku pada
beberapa pria yang masih menjomblo. Berharap aku bisa jatuh hati pada salah
seorang di antaranya, tapi itu tetap sia-sia. Tak seorang pun pria yang mampu
menggantikan Revan di hatiku sampai saat ini. Walaupun Revan tak pernah tahu.
Untuk Revan, hanya kata demi kata
yang bisa kususun, hingga membentuk baris-baris, dan menjadi bait-bait, lalu
utuh dalam satu kesatuan yang disebut dengan puisi. Hanya itu yang dapat
kusuguhkan untuk cinta yang masih terpendam dan hanya itulah yang mampu
membalaskan rasa kecewa yang tak kunjung kutemukan titik biasnya. Dengan
menulis puisi, aku bercinta sekaligus berontak di dalamnya. Dengan puisi
pulalah, dahagaku akan gelora yang begitu sempurna menjadi rinai di kedalaman
hati.
Jika Revan bisa lebih peka, mungkin
ia akan tahu tentang bahasa hati yang tak terlisankan dan cukuplah mata yang
bicara juga isyarat yang terus bergerak menari menyusuri tepian hatinya, tapi
itu semua tetap tak bisa ia rasakan.
Secara sengaja kutimbun rasa cintaku
terhadapnya. Bukan karena aku takut akan sebuah penolakan, tapi karena aku tahu
ia telah memiliki hati yang lain dan hatinya juga telah dimiliki. Sekian lama
kucurahkan rasa pada kata yang terlampau memujaku. Ya, hanya itu yang dapat
kulakukan untuk membuktikan rasa cintaku terlalu dalam.
Cirebon,
13 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar