Cerpen : MENCINTAI adalah MEMBUNUH

Written By Unknown on Minggu, 01 Maret 2015 | 04.17



MENCINTAI adalah MEMBUNUH

            Aku sudah tak percaya lagi dengan cinta. Termasuk cinta yang kau berikan untukku.
            Aku di sini. Sendiri. Masih juga merelakan jiwaku untuk cinta. Padahal aku tahu cinta juga termasuk salah satu bentuk pembunuhan secara perlahan. Dan mari kita lihat siapa yang lebih dulu terbunuh karena aku juga punya cinta dan akan tetap mencinta. Membalaskan dendamku untuk membunuh.
            Dua puluh tahun lalu. Saat usiaku masih kanak-kanak.
            “Ngga, saya ngga mau. Apalagi saya harus pergi dari rumah ini.”
            “Kalau begitu, saya yang akan pergi dan saya tetap akan mengajukan cerai. Nabila, kamu ikut mamah atau papah?”
            Orang tuaku begitu mencintaiku dan aku pun sangat mencintai mereka. Kalau aku tidak dicintai, mana mungkin aku terlahir dan ada. Dan kalau aku tidak mencintai mereka mana mungkin aku rela hidup dan dibesarkan di pangkuan mereka, memanggil mereka mamah dan papah.
            Tapi cinta mereka adalah pedang yang siap menusuk korbannya saat gejolak amarah tak lagi dapat terbendung. Saat cinta itu kurasakan, maka seketika itu juga aku terbunuh perlahan. Tapi aku punya seribu nyawa. Dalam tubuhku masih tersisa ruang yang bisa kugunakan untuk menampung energi positif bahkan negatif yang dapat melahirkan berbagai macam kemungkinan termasuk cinta.
            Aku mencintai mereka, mamah dan papah. Maka aku membunuhnya dengan tidak memilih siapa pun di antara mereka sebagai pelitaku. Aku lebih mencintai diriku sendiri, maka kupilih nenek sebagai jendela hidupku dan kubunuh diriku dalam rasa rindu.
            Aku di sini mencari kakakku yang hilang. Korban cinta. Pengusiran membuatnya berkeliaran dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu kota ke kota lain.
            Dua puluh dua tahun lalu. Ketika itu aku tidak ikut-ikutan mengusirnya, karena aku tahu jika aku ikut mengusirnya artinya aku sudah siap terbunuh untuk kesekian kalinya. Dan jika aku turut melakukan pengusiran, maka aku akan berhadapan dengan setumpuk cinta sekaligus setumpuk pembunuhan.
            Aku belum siap dan aku tidak akan pernah siap jika kerinduan mendera, lalu aku mencari dan bertemu lantas dia akan membunuhku. Mengusirku. Sama seperti aku mengusirnya, jika itu kulakukan dulu. Tidak ikut mengusirnya saja aku telah terbunuh apalagi jika aku ikut mengusirnya.
            Kakakku doyan nyolong, mabuk, pemakai barang haram, dan juga pezina. Pernah dipenjara lantaran terlalu bego. Naro barang haram di dekat penis. Jangankan polisi, botol-botol alkohol yang masih berantakan di lantai saja ngga bisa dikibulin. Gimana ngga, jelas-jelas res sleting celana kebuka. Bungkus obat ngintip dari balik celana. Tanpa basa-basi kakakku yang lagi asik saling membunuh dengan kekasihnya di kamar kosan langsung digiring aparat.
            Dibesarkan oleh cinta dan dibesarkan dengan terbunuh. Kakakku terbilang produk komplit. Padahal papah hanya pezina. Mamah bukan tukang nyolong, bukan tukang mabok, bukan juga pemakai barang haram. Lalu darimana kakakku mendapatkan cinta lain itu? Hingga ia terbunuh menjadi tukang nyolong, tukang mabok, dan pemakai barang haram.
            Aku, Nabila. Perempuan berusia tiga puluh tahun yang baru saja menyerahkan anak semata wayang pada seseorang yang katanya mencintaiku. Dan sekaligus ingin membunuhku secara perlahan.
            Semua isi kebun binatang ke luar dari mulutnya. Tamparan cinta seringkali mendarat di pipi indahku yang sengaja kupoles dengan blash on setiap hari agar tetap tampil cantik. Semasa kami bersama jelas kami saling mencintai dan saling membunuh.
Setiap hari kumerahi bibirku dengan lipstik bahkan ia menambahi dengan bibirnya sebelum berangkat ke kantor. Selalu kupantau bibirku di depan cermin agar jika merahnya mulai nampak pudar bisa langsung kumerahi lagi. Jadi jika suamiku pulang, bibirku telah siap untuk dicium.
Tapi semua kulakukan dengan kepura-puraan. Bahkan ketika ia melumuri tubuhku dengan cat warna, seketika itu aku terbunuh. Ia lakukan apapun sesuka hatinya. Dengan berpakaian penisnya mampu menusuk vaginaku. Hingga aku mengerang kesakitan. Gairahku terbungkam. Seolah aku objek yang hanya perlu patuh pada perintah subjek. Padahal dengan transparan semua terlihat lebih jelas. Kata orang penis besar lebih enak, tapi bagiku penis besar justru sangat membunuh!
Aku mencintainya. Sebab itulah penisnya kubiarkan masuk ke dalam vaginaku yang terasa sangat perih walaupun telah sekian kali ditusuknya. Aku mencintainya. Sebab itulah kuserahkan putriku padanya untuk dibesarkan dan dididik karena aku tahu dia begitu mencintainya dengan pedang yang terselip di lidahnya.
Aku mencintainya, maka aku membunuhnya.
Putriku sudah lancar bicara dan pasti ia akan sering menyuguhkan banyak pertanyaan termasuk perihal ibunya.
“Di mana ibu sekarang? Nadia kangen.”
Nadia, putri yang kucintai dan aku telah membunuhnya.
Aku, sendiri, mencintai diriku, maka aku membunuh diriku. Aku, sendiri, yang masih ingin dicintai, maka aku telah siap untuk terbunuh. Aku, sendiri, yang masih memiliki cinta untuk kuberikan, maka aku pun siap dengan pedangku untuk membunuh.

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen : MENCINTAI adalah MEMBUNUH yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 04.17

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.