MENCINTAI adalah MEMBUNUH
Aku sudah
tak percaya lagi dengan cinta. Termasuk cinta yang kau berikan untukku.
Aku di sini.
Sendiri. Masih juga merelakan jiwaku untuk cinta. Padahal aku tahu cinta juga
termasuk salah satu bentuk pembunuhan secara perlahan. Dan mari kita lihat
siapa yang lebih dulu terbunuh karena aku juga punya cinta dan akan tetap
mencinta. Membalaskan dendamku untuk membunuh.
Dua puluh
tahun lalu. Saat usiaku masih kanak-kanak.
“Ngga, saya
ngga mau. Apalagi saya harus pergi dari rumah ini.”
“Kalau
begitu, saya yang akan pergi dan saya tetap akan mengajukan cerai. Nabila, kamu
ikut mamah atau papah?”
Orang tuaku
begitu mencintaiku dan aku pun sangat mencintai mereka. Kalau aku tidak
dicintai, mana mungkin aku terlahir dan ada. Dan kalau aku tidak mencintai
mereka mana mungkin aku rela hidup dan dibesarkan di pangkuan mereka, memanggil
mereka mamah dan papah.
Tapi cinta
mereka adalah pedang yang siap menusuk korbannya saat gejolak amarah tak lagi
dapat terbendung. Saat cinta itu kurasakan, maka seketika itu juga aku terbunuh
perlahan. Tapi aku punya seribu nyawa. Dalam tubuhku masih tersisa ruang yang
bisa kugunakan untuk menampung energi positif bahkan negatif yang dapat
melahirkan berbagai macam kemungkinan termasuk cinta.
Aku
mencintai mereka, mamah dan papah. Maka aku membunuhnya dengan tidak memilih
siapa pun di antara mereka sebagai pelitaku. Aku lebih mencintai diriku
sendiri, maka kupilih nenek sebagai jendela hidupku dan kubunuh diriku dalam
rasa rindu.
Aku di sini
mencari kakakku yang hilang. Korban cinta. Pengusiran membuatnya berkeliaran
dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu kota ke kota lain.
Dua puluh
dua tahun lalu. Ketika itu aku tidak ikut-ikutan mengusirnya, karena aku tahu
jika aku ikut mengusirnya artinya aku sudah siap terbunuh untuk kesekian
kalinya. Dan jika aku turut melakukan pengusiran, maka aku akan berhadapan
dengan setumpuk cinta sekaligus setumpuk pembunuhan.
Aku belum
siap dan aku tidak akan pernah siap jika kerinduan mendera, lalu aku mencari
dan bertemu lantas dia akan membunuhku. Mengusirku. Sama seperti aku
mengusirnya, jika itu kulakukan dulu. Tidak ikut mengusirnya saja aku telah
terbunuh apalagi jika aku ikut mengusirnya.
Kakakku
doyan nyolong, mabuk, pemakai barang haram, dan juga pezina. Pernah dipenjara
lantaran terlalu bego. Naro barang haram di dekat penis. Jangankan polisi, botol-botol
alkohol yang masih berantakan di lantai saja ngga bisa dikibulin. Gimana ngga,
jelas-jelas res sleting celana kebuka. Bungkus obat ngintip dari balik celana.
Tanpa basa-basi kakakku yang lagi asik saling membunuh dengan kekasihnya di
kamar kosan langsung digiring aparat.
Dibesarkan
oleh cinta dan dibesarkan dengan terbunuh. Kakakku terbilang produk komplit.
Padahal papah hanya pezina. Mamah bukan tukang nyolong, bukan tukang mabok,
bukan juga pemakai barang haram. Lalu darimana kakakku mendapatkan cinta lain
itu? Hingga ia terbunuh menjadi tukang nyolong, tukang mabok, dan pemakai
barang haram.
Aku, Nabila.
Perempuan berusia tiga puluh tahun yang baru saja menyerahkan anak semata
wayang pada seseorang yang katanya mencintaiku. Dan sekaligus ingin membunuhku
secara perlahan.
Semua isi
kebun binatang ke luar dari mulutnya. Tamparan cinta seringkali mendarat di
pipi indahku yang sengaja kupoles dengan blash on setiap hari agar tetap tampil
cantik. Semasa kami bersama jelas kami saling mencintai dan saling membunuh.
Setiap hari kumerahi bibirku dengan
lipstik bahkan ia menambahi dengan bibirnya sebelum berangkat ke kantor. Selalu
kupantau bibirku di depan cermin agar jika merahnya mulai nampak pudar bisa
langsung kumerahi lagi. Jadi jika suamiku pulang, bibirku telah siap untuk
dicium.
Tapi semua kulakukan dengan
kepura-puraan. Bahkan ketika ia melumuri tubuhku dengan cat warna, seketika itu
aku terbunuh. Ia lakukan apapun sesuka hatinya. Dengan berpakaian penisnya
mampu menusuk vaginaku. Hingga aku mengerang kesakitan. Gairahku terbungkam.
Seolah aku objek yang hanya perlu patuh pada perintah subjek. Padahal dengan
transparan semua terlihat lebih jelas. Kata orang penis besar lebih enak, tapi
bagiku penis besar justru sangat membunuh!
Aku mencintainya. Sebab itulah
penisnya kubiarkan masuk ke dalam vaginaku yang terasa sangat perih walaupun
telah sekian kali ditusuknya. Aku mencintainya. Sebab itulah kuserahkan putriku
padanya untuk dibesarkan dan dididik karena aku tahu dia begitu mencintainya
dengan pedang yang terselip di lidahnya.
Aku mencintainya, maka aku
membunuhnya.
Putriku sudah lancar bicara dan pasti
ia akan sering menyuguhkan banyak pertanyaan termasuk perihal ibunya.
“Di mana ibu sekarang? Nadia kangen.”
Nadia, putri yang kucintai dan aku telah
membunuhnya.
Aku, sendiri, mencintai diriku, maka
aku membunuh diriku. Aku, sendiri, yang masih ingin dicintai, maka aku telah
siap untuk terbunuh. Aku, sendiri, yang masih memiliki cinta untuk kuberikan,
maka aku pun siap dengan pedangku untuk membunuh.
0 komentar:
Posting Komentar