Cerpen : Membeli Ijazah

Written By Unknown on Rabu, 01 April 2015 | 02.38



MEMBELI IJAZAH

            Pukul 09.00 saya bersama seorang saudara saya berangkat menuju salah satu kampus tempat ia menuntut ilmu. Seperti biasa, musik melow dinyalakan menemani perjalanan kami yang memakan waktu hingga satu jam. Di tengah perjalanan, mobil yang disetirinya sengaja berhenti di depan sebuah toko kecil tempat penjualan alat-alat tulis.
            “Neng, belikan map plastik satu.” Pintanya pada saya sambil menyerahkan uang tiga ribu rupiah.
            Saya pun turun dari mobil dan membeli map tersebut. Map kuning saya pilih dan transaksi tunai dilakukan. Saya kembali masuk ke dalam mobil yang ternyata jok saya sedang terisi oleh penumpang gelap. Beberapa kertas tertumpuk di jok saya. terlihat saudara saya sibuk mempersiapkan kepentingannya. Ia mengeluarkan lagi beberapa kertas dari dalam tasnya, lalu kembali ditumpuk di jok saya. Saya pun berdiri diam di pintu mobil yang terbuka. Diseletingnya tas dan ditaruh di jok belakang. Map di tangan saya pun berpindah ke tangannya. Dimasukannya kertas di jok saya ke dalam map, saya pun kembali duduk dan mobil kembali melaju.
            Pukul 09.45 kami tiba di kampusnya, berniat menemui dosen pembimbing. Saudara saya ini memang sedang berjuang menyelesaikan thesisnya. Pukul 11.00 adalah jadwal pertemuan pertamanya membahas perihal judul thesis yang diajukannya.
            Sebelum pertemuan berlangsung, terlebih dulu kami bertemu Pak Duit, dosen di salah satu fakultas. Arahan demi arahan disampaikan Pak Duit agar skripsi saudara saya bisa cepat diselesaikan.
            Judul skripsi yang telah dipersiapkan saudara saya mendapat tanggapan kurang baik. Judul skripsi pun diganti oleh Pak Duit. Wajah saudara saya berubah masam, gerutu demi gerutu dilisankan saudara saya, tanda kecewa pada pekerjaannya yang dirasa sia-sia.
            “Haduh, padahal saya sudah dapat datanya loh pak. Ini kalau saya ganti judul berarti saya cari data baru lagi.”
            “Iya, soalnya judul yang diajukan masih umum. Kalau yang baru itu sudah spesifik. Tinggal minta data ke kantor Departemen Agama.”
            Cukup lama saya menjadi pendengar setia, walau saya sendiri tak memiliki kepentingan apa-apa di dalamnya. Saya pun sibuk dengan notebook di hadapan saya. Biarkan mereka menyelesaikan kepentingan mereka. Ada yang mengarahkan dan diarahkan. Biarkan pula saya menyelesaikan kepentingan saya yang tak luput dari layar notebook.
            Jemari tangan saya sebenarnya sedang menuangkan hasil rekaman pencaindra yang sudah difilter terlebih dahulu. Tombol demi tombol rela menjelma menjadi huruf-huruf hidup pada layar notebook. Kata demi kata tersusun menjemput makna. Sekedar bercerita dan rasanya kisah yang saya uraikan masih sebatas di permukaan saja. Belum menemukan titik kedalaman pesan. Namun walaupun begitu, jemari tangan saya tetap menari di atas tombol-tombol yang tetap setia diam di tempat seharusnya ia bekerja.
            Lebih dari sejam saya dan saudara saya bergelut dengan kesibukan masing-masing. Saya intip sedikit aktivitas saudara saya yang ternyata sedang membaca sebuah kertas. Di meja kerja Pak Duit terdapat sebuah printer yang perlahan memuntahkan kertas yang entah bertuliskan apa dan diserahkan pada saudara saya.
            “Haduh, banyak juga ya pak!” Sambil tersenyum berat diterimanya kertas. “Ya sudah pak, saya pelajari sambil jalan saja. Sebentar lagi saya bimbingan. Nanti besok kalau sudah dapat datanya saya langsung ke bapak.”
            “Hari kerja kantor cuma lima hari, besok libur, kan Sabtu.”
            “Oh iya, ya sudah berarti Senin pak.”
            “Ya boleh. Kalau ada perlu apa-apa atau ada yang kesulitan hubungi saya.”
            “Ya pak. Mari pak.”
            Saya menghentikan tulisan saya dan bersama saudara saya ke luar ruangan. Sambil melangkah, saudara saya terlihat berkonsentrasi dengan tulisan yang tertera di kertas yang digenggamnya. Mulutnya komat-kamit. Namun lantaran menyerah, ia akhirnya memutuskan menulis beberapa kalimat di telapak tangan kirinya.
            Saya mulai merasa heran. Mengapa seorang dosen yang katanya sudah menyelesaikan S3 justru memberikan judul pada mahasiswanya yang sedang berjuang menyelesaikan thesis, bahkan sampai rela membuatkan uraian judul thesis sebagai bahan acuan.
            Sesampainya di depan ruangan dosen pembimbing, terlebih dulu saudara saya berbincang dengan seorang kawan dekatnya, Pak Be.
            “Haduh, judul saya diganti.” Keluh saudara saya.
            “Judul saya gimana ya?”
            “Sudah benar.”
            Mereka pun masuk ke dalam ruangan. Hanya beberapa menit saja saya duduk diam menunggu. Tak lama tubuh saudara saya menyembul di pintu disusul tubuh Pak Be.
            “Ngobrolnya di warung makan saja.” Ajak Pak Be pada saudara saya dengan sedikit berbisik.
            Mobil Pak Be melaju disusul mobil saudara saya. Sesampainya di sebuah rumah makan khas sunda, menu makanan sebentar diacuhkan. Dua pelayan perempuan yang menunggu pesanan pun hanya berdiri diam menjadi pemantau aktifitas kami. Saudara saya melanjutkan perbincangan dengan Pak Be dan saya kembali membuka notebook untuk melanjutkan tulisan yang tertunda.
            “Tadi Pak Duit bilang, nanti mau dikerjakan langsung tiga bab.”
            “Kok langsung tiga bab. Kenapa tidak perbab saja dulu? Siapa tahu nanti ada revisi dari pembimbing.”
            “Ya mungkin biar ngga numpuk. Yang minta dibikinin kan bukan kita saja.”
            “Iya juga sih. Oh, begini saja. Pak Duit nanti ngasihnya langsung tiga bab, tapi kita ngajuin ke pembimbing perbab saja. Bab satu dulu, bab dua dan tiga disimpan. Kalau nanti ternyata ada revisi langsung konsultasikan ke Pak Duit, tapi kalau ternyata lancar-lancar saja tinggal selanjutnya mengajukan bab dua.”
            “Ya benar begitu saja.”
            Mendengar percakapan mereka dari balik notebook membuat beberapa pertanyaan hadir, menggenang di otak saya.
            Apakah thesis bisa minta tolong dikerjakan dosen? Memangnya boleh? Apakah tidak ada peraturan yang melarang mahasiswanya untuk tidak dibuatkan thesis? Barangkali ada, tapi nampaknya hanya sekedar larangan kosong. Formalitas. Tapi apakah tidak ada sanksi tegas bagi pelaku? Jadi untuk apa membeli map kalau ternyata hanya sekedar agar terkesan siap dengan materi yang sebenarnya kosong di otak? Argh, semua pertanyaan itu memaksa jawaban untuk segera menyelesaikannya.
            Seorang pelayan yang berdiri menunggu sedari tadi memainkan bulpoin yang digenggamnya. Diadukan pada buku pesanan yang dibawanya hingga menghasilkan bunyi tuk, tuk, tuk.
            Seorang pelayan satunya yang setia menemani memperhatikan gerakan kawannya yang memberi isyarat hati yang mulai uring-uringan. Mereka pun saling beradu pandang dan tertawa kecil, mengetuk kesadaran saudara saya dan Pak Be yang terlalu sibuk dengan urusan mereka hingga melupakan kewajiban sebagai pembeli di rumah makan. Pak Be pun segera menyambet menu makanan yang mulai bosan. Saudara saya melirik ke arah dua pelayan.
            “Eh, dikira ngga ditungguin.” Ucap saudara saya disusul tawa tanpa rasa bersalah. Kedua pelayan hanya tersenyum.
            Kami segera memesan makan. Di tengah pesanan yang sedang dibuatkan, kami melanjutkan aktifitas  masing-masing. Lagi-lagi saya bercinta dengan notebook. Saudara saya dan Pak Be melangkah menuju mushola.
            Kerumunan tombol di hadapan saya menjelma menjadi kursor yang mulai bergeming menghasilkan rangkaian huruf yang lebih dalam. Mulai menemukan fungsinya bagi sebuah pesan moral. Kata perkata tersusun mulai terlihat manfaatnya dalam tulisan yang saya harapkan dapat berguna bagi masyarakat.
            Tak ada aktifitas masing-masing yang dilakukan saat bersantap. Semua serempak pada satu pilihan, yakni sesegera mungkin menghabiskan menu yang telah tersedia dan kembali pulang karena hari telah senja.
            Saat perjalanan pulang, kabar mencengangkan terlontar dari saudara saya.
            “Dibikinin thesis empat juta tahu!”
            “Empat juta?”
            “Iyalah. Mulai dari judul sampai selesai.”
            “Nanti persiapan sidang gimana?”
            “Ya kan nanti dikasih bahannya buat dipelajari. Kampus juga tahu kalau Pak Duit yang biasanya bantuin bikinin begituan. Asal jangan sampai bocor ke luar saja.”
            Wah, mudah sekali rasanya hidup ini ya jika semua bisa dibeli dengan uang. Bahkan hanya demi selembar ijazah rela merogoh kocek yang tidak sedikit dan seketika figur seorang guru lenyap dari pandangan saya.
            Nampaknya kasus semacam itu sudah lumrah terjadi. Bahkan kasus lebih besar yang mengakibatkan kerugian bagi banyak orang rasanya menjadi permainan menarik di era ini. Ya, memang sudah bukan hal yang aneh lagi jika mereka yang memiliki kelebihan uang justru terbelit persoalan yang memaksa uangnya untuk berpindah tangan. Padahal jika menilik ke luar, mereka yang tidak memiliki cukup uang justru terbelit oleh persoalan yang memaksa uang untuk hadir sedikitnya menjamah perut kosong mereka.

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen : Membeli Ijazah yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 02.38

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.