MEMBELI IJAZAH
Pukul 09.00 saya bersama seorang
saudara saya berangkat menuju salah satu kampus tempat ia menuntut ilmu.
Seperti biasa, musik melow dinyalakan menemani perjalanan kami yang memakan
waktu hingga satu jam. Di tengah perjalanan, mobil yang disetirinya sengaja
berhenti di depan sebuah toko kecil tempat penjualan alat-alat tulis.
“Neng, belikan map plastik satu.”
Pintanya pada saya sambil menyerahkan uang tiga ribu rupiah.
Saya pun turun dari mobil dan
membeli map tersebut. Map kuning saya pilih dan transaksi tunai dilakukan. Saya
kembali masuk ke dalam mobil yang ternyata jok saya sedang terisi oleh
penumpang gelap. Beberapa kertas tertumpuk di jok saya. terlihat saudara saya
sibuk mempersiapkan kepentingannya. Ia mengeluarkan lagi beberapa kertas dari
dalam tasnya, lalu kembali ditumpuk di jok saya. Saya pun berdiri diam di pintu
mobil yang terbuka. Diseletingnya tas dan ditaruh di jok belakang. Map di
tangan saya pun berpindah ke tangannya. Dimasukannya kertas di jok saya ke
dalam map, saya pun kembali duduk dan mobil kembali melaju.
Pukul 09.45 kami tiba di kampusnya,
berniat menemui dosen pembimbing. Saudara saya ini memang sedang berjuang
menyelesaikan thesisnya. Pukul 11.00 adalah jadwal pertemuan pertamanya
membahas perihal judul thesis yang diajukannya.
Sebelum pertemuan berlangsung, terlebih
dulu kami bertemu Pak Duit, dosen di salah satu fakultas. Arahan demi arahan
disampaikan Pak Duit agar skripsi saudara saya bisa cepat diselesaikan.
Judul skripsi yang telah
dipersiapkan saudara saya mendapat tanggapan kurang baik. Judul skripsi pun
diganti oleh Pak Duit. Wajah saudara saya berubah masam, gerutu demi gerutu
dilisankan saudara saya, tanda kecewa pada pekerjaannya yang dirasa sia-sia.
“Haduh, padahal saya sudah dapat
datanya loh pak. Ini kalau saya ganti judul berarti saya cari data baru lagi.”
“Iya, soalnya judul yang diajukan
masih umum. Kalau yang baru itu sudah spesifik. Tinggal minta data ke kantor
Departemen Agama.”
Cukup lama saya menjadi pendengar
setia, walau saya sendiri tak memiliki kepentingan apa-apa di dalamnya. Saya
pun sibuk dengan notebook di hadapan saya. Biarkan mereka menyelesaikan
kepentingan mereka. Ada yang mengarahkan dan diarahkan. Biarkan pula saya
menyelesaikan kepentingan saya yang tak luput dari layar notebook.
Jemari tangan saya sebenarnya sedang
menuangkan hasil rekaman pencaindra yang sudah difilter terlebih dahulu. Tombol
demi tombol rela menjelma menjadi huruf-huruf hidup pada layar notebook. Kata
demi kata tersusun menjemput makna. Sekedar bercerita dan rasanya kisah yang
saya uraikan masih sebatas di permukaan saja. Belum menemukan titik kedalaman
pesan. Namun walaupun begitu, jemari tangan saya tetap menari di atas
tombol-tombol yang tetap setia diam di tempat seharusnya ia bekerja.
Lebih dari sejam saya dan saudara
saya bergelut dengan kesibukan masing-masing. Saya intip sedikit aktivitas
saudara saya yang ternyata sedang membaca sebuah kertas. Di meja kerja Pak Duit
terdapat sebuah printer yang perlahan memuntahkan kertas yang entah bertuliskan
apa dan diserahkan pada saudara saya.
“Haduh, banyak juga ya pak!” Sambil
tersenyum berat diterimanya kertas. “Ya sudah pak, saya pelajari sambil jalan
saja. Sebentar lagi saya bimbingan. Nanti besok kalau sudah dapat datanya saya
langsung ke bapak.”
“Hari kerja kantor cuma lima hari,
besok libur, kan Sabtu.”
“Oh iya, ya sudah berarti Senin
pak.”
“Ya boleh. Kalau ada perlu apa-apa
atau ada yang kesulitan hubungi saya.”
“Ya pak. Mari pak.”
Saya menghentikan tulisan saya dan
bersama saudara saya ke luar ruangan. Sambil melangkah, saudara saya terlihat
berkonsentrasi dengan tulisan yang tertera di kertas yang digenggamnya.
Mulutnya komat-kamit. Namun lantaran menyerah, ia akhirnya memutuskan menulis
beberapa kalimat di telapak tangan kirinya.
Saya mulai merasa heran. Mengapa
seorang dosen yang katanya sudah menyelesaikan S3 justru memberikan judul pada
mahasiswanya yang sedang berjuang menyelesaikan thesis, bahkan sampai rela
membuatkan uraian judul thesis sebagai bahan acuan.
Sesampainya di depan ruangan dosen
pembimbing, terlebih dulu saudara saya berbincang dengan seorang kawan
dekatnya, Pak Be.
“Haduh, judul saya diganti.” Keluh
saudara saya.
“Judul saya gimana ya?”
“Sudah benar.”
Mereka pun masuk ke dalam ruangan.
Hanya beberapa menit saja saya duduk diam menunggu. Tak lama tubuh saudara saya
menyembul di pintu disusul tubuh Pak Be.
“Ngobrolnya di warung makan saja.”
Ajak Pak Be pada saudara saya dengan sedikit berbisik.
Mobil Pak Be melaju disusul mobil
saudara saya. Sesampainya di sebuah rumah makan khas sunda, menu makanan
sebentar diacuhkan. Dua pelayan perempuan yang menunggu pesanan pun hanya
berdiri diam menjadi pemantau aktifitas kami. Saudara saya melanjutkan
perbincangan dengan Pak Be dan saya kembali membuka notebook untuk melanjutkan
tulisan yang tertunda.
“Tadi Pak Duit bilang, nanti mau
dikerjakan langsung tiga bab.”
“Kok langsung tiga bab. Kenapa tidak
perbab saja dulu? Siapa tahu nanti ada revisi dari pembimbing.”
“Ya mungkin biar ngga numpuk. Yang
minta dibikinin kan bukan kita saja.”
“Iya juga sih. Oh, begini saja. Pak
Duit nanti ngasihnya langsung tiga bab, tapi kita ngajuin ke pembimbing perbab
saja. Bab satu dulu, bab dua dan tiga disimpan. Kalau nanti ternyata ada revisi
langsung konsultasikan ke Pak Duit, tapi kalau ternyata lancar-lancar saja
tinggal selanjutnya mengajukan bab dua.”
“Ya benar begitu saja.”
Mendengar percakapan mereka dari
balik notebook membuat beberapa pertanyaan hadir, menggenang di otak saya.
Apakah thesis bisa minta tolong
dikerjakan dosen? Memangnya boleh? Apakah tidak ada peraturan yang melarang
mahasiswanya untuk tidak dibuatkan thesis? Barangkali ada, tapi nampaknya hanya
sekedar larangan kosong. Formalitas. Tapi apakah tidak ada sanksi tegas bagi
pelaku? Jadi untuk apa membeli map kalau ternyata hanya sekedar agar terkesan
siap dengan materi yang sebenarnya kosong di otak? Argh, semua pertanyaan itu
memaksa jawaban untuk segera menyelesaikannya.
Seorang pelayan yang berdiri
menunggu sedari tadi memainkan bulpoin yang digenggamnya. Diadukan pada buku
pesanan yang dibawanya hingga menghasilkan bunyi tuk, tuk, tuk.
Seorang pelayan satunya yang setia
menemani memperhatikan gerakan kawannya yang memberi isyarat hati yang mulai
uring-uringan. Mereka pun saling beradu pandang dan tertawa kecil, mengetuk
kesadaran saudara saya dan Pak Be yang terlalu sibuk dengan urusan mereka
hingga melupakan kewajiban sebagai pembeli di rumah makan. Pak Be pun segera
menyambet menu makanan yang mulai bosan. Saudara saya melirik ke arah dua
pelayan.
“Eh, dikira ngga ditungguin.” Ucap
saudara saya disusul tawa tanpa rasa bersalah. Kedua pelayan hanya tersenyum.
Kami segera memesan makan. Di tengah
pesanan yang sedang dibuatkan, kami melanjutkan aktifitas masing-masing. Lagi-lagi saya bercinta dengan
notebook. Saudara saya dan Pak Be melangkah menuju mushola.
Kerumunan tombol di hadapan saya menjelma
menjadi kursor yang mulai bergeming menghasilkan rangkaian huruf yang lebih
dalam. Mulai menemukan fungsinya bagi sebuah pesan moral. Kata perkata tersusun
mulai terlihat manfaatnya dalam tulisan yang saya harapkan dapat berguna bagi
masyarakat.
Tak ada aktifitas masing-masing yang
dilakukan saat bersantap. Semua serempak pada satu pilihan, yakni sesegera
mungkin menghabiskan menu yang telah tersedia dan kembali pulang karena hari
telah senja.
Saat perjalanan pulang, kabar
mencengangkan terlontar dari saudara saya.
“Dibikinin thesis empat juta tahu!”
“Empat juta?”
“Iyalah. Mulai dari judul sampai
selesai.”
“Nanti persiapan sidang gimana?”
“Ya kan nanti dikasih bahannya buat
dipelajari. Kampus juga tahu kalau Pak Duit yang biasanya bantuin bikinin
begituan. Asal jangan sampai bocor ke luar saja.”
Wah, mudah sekali rasanya hidup ini
ya jika semua bisa dibeli dengan uang. Bahkan hanya demi selembar ijazah rela
merogoh kocek yang tidak sedikit dan seketika figur seorang guru lenyap dari
pandangan saya.
Nampaknya kasus semacam itu sudah
lumrah terjadi. Bahkan kasus lebih besar yang mengakibatkan kerugian bagi
banyak orang rasanya menjadi permainan menarik di era ini. Ya, memang sudah
bukan hal yang aneh lagi jika mereka yang memiliki kelebihan uang justru
terbelit persoalan yang memaksa uangnya untuk berpindah tangan. Padahal jika
menilik ke luar, mereka yang tidak memiliki cukup uang justru terbelit oleh
persoalan yang memaksa uang untuk hadir sedikitnya menjamah perut kosong
mereka.
0 komentar:
Posting Komentar