Cerpen : Perempuan Tanpa Gunting di Perutnya

Written By Unknown on Rabu, 01 April 2015 | 02.47



PEREMPUAN TANPA GUNTING DI PERUTNYA

            Kurasakan getaran halus penuh cinta dalam setiap pergerakan yang ibu lakukan padaku. Denyut jantung ibu berirama dengan denyut jantungku. Kami tak dapat terpisahkan oleh siapapun, kecuali tangan Tuhan.
            Sering ibu mengajakku bicara. Berbagi kisah. Namun sampai detik ini aku hanya dapat menjadi pendengar setia tanpa berkomentar apapun. Ibu sangat senang setiap kali berdialog denganku, walau belum pernah sekali pun mendengarku bicara.
            Ibu begitu sabar menantikan kehadiranku. Kehadiran suaraku. Tak pernah sekalipun terbesit dalam benak ibu perasaan menyerah untuk bisa bertemu denganku dan mendengar cerita-ceritaku kelak. Perhatian ibu padaku menciptakan kekuatan batin di antara kami.
            “Jagoan ibu, sekarang kita makan ya. Biar Raka sehat, ibu juga sehat.”
            Terasa elusan hangat menjalari seluruh tubuhku. Kehangatan dari elusan tangan ibu melebihi hangatnya tempatku berada.
            Selepas makan sore, kudengar lantunan lagu-lagu klasik. Ibu memang pandai dalam mendidikku. Berbagai macam cara dilakukan untuk menjadikanku anak yang cerdas.
            Sebelum magrib ayah selalu sudah berada di rumah. Jarang lembur di kantor. Ayah lebih memilih menyelesaikan pekerjaan kantornya di rumah. Apalagi ketika aku sudah mulai berani memukul dan menendang ibu dengan penuh kasih sayang.
            “Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
            “Jagoan ayah lagi apa?” Ciuman hangat ayah mendarat tepat di keningku. Biasanya selepas menciumku ayah selalu mencium kening ibu.
            “Mapnya banyak sekali yah, malam ini lembur lagi?”
            “Iya bu. Kerjaan di kantor lagi numpuk. Yang penting ayah lemburnya ngga di kantor. Lemburnya di rumah sambil nemenin istri tercinta.”
            “Dan anak kita.”
            “Iya, jagoan ayah dan ibu.”
            Terasa getaran cinta ayah dan ibu begitu kuat. Ayah mengelus-elus perut ibu dan berhenti tepat di dinding rahim tempatku biasanya mengintip. Sepertinya ayah dan ibu sedang bercumbu mesra. Aku ingin melihatnya, namun ayah sengaja menutup dinding rahim hingga aku tak dapat melihat adegan romantis itu.
Nampaknya aku perlu melakukan sebuah pergerakan yang dapat membuat ibu dan ayah menyadari kalau aku ada dan ingin melihat. Kutendang rahim ibu dengan halus. Terdengar suara tawa ibu dan tangan ayah sudah tak lagi menutup daerah penglihatanku. Sayang, adegan romantis itu sudah berhenti. Ayah tahu saja kalau aku masih terbilang anak di bawah umur dan belum saatnya melihat hal yang seperti itu.
“Ayah mandi dulu. Sambil ayah mandi, ibu siapin makan.”
Segala kalimat yang terlontar dari bibir manis ibu selalu terdengar olehku. Setiap pergerakan ibu dapat kurasakan. Hati kami menyatu. Ayah juga sering mengajakku bicara.
Selepas ayah mandi, kulihat ayah menghampiriku yang duduk di kursi ruang makan bersama ibu.
“Jagoan ayah sudah makan belum? Mau makan bareng ayah? Ibu sudah makan?”
“Sudah.”
“Ayah makan dulu ya. Habis makan kita sholat bareng sama ibu.” Ucap ayah padaku yang asik mengemut jari.
Selepas ayah makan, terdengar suara adzan berkumandang. Aku belum bisa berwudlu, tapi kelak jika sudah saatnya pasti ibu akan mengajariku.
Kami pun melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Suara ayah terdengar begitu indah melantunkan ayat-ayat Allah. Aku ingin seperti ayah yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Melaksanakan betul tanggung jawabnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Sebagai seorang suami sekaligus ayah. Ayahku memang cocok disebut imam.
Malam ini ibu sangat ingin sekali makan bakso dan kami pun makan bakso di tempat langganan yang tak jauh dari tempat tinggal kami.
“Kita makan bakso ya nak,” kata ibu padaku sambil mengelus-elusku.
Kulihat tangan ibu menjamah botol saos, namun ditaruh lagi oleh ayah.
“Jangan bu. Saos ngga bagus.”
“Tapi pengen ayah.”
“Ngga boleh. Ngga kasihan sama jagoan kita? Buat badan ibu juga ngga bagus.”
Ibu kalau sudah diberitahu ayah pasti nurut. Tidak bisa berkutik.
“Kalau tidak dituruti nanti anaknya ngeces!” seorang perempuan nyeletuk.
Ngeces? Apa itu? Kukeruk isi kepala ibu dan kutemukan makna kata “ngeces”. Ileran. Air liur yang terus-menerus ke luar dari mulut. Jadi maksudnya aku akan ileran kalau ibu tidak makan saos? Karena keinginan ibu makan saos lahir dari keinginanku? Rasanya aku tidak pernah berkeinginan macam-macam. Untuk sekedar minta saos pun tidak. Lalu jika benar aku ingin saos, apa ibu bisa mendengarku? Lagipula aku tidak tahu bagaimana rasa saos itu. Yang aku tahu hanyalah semua makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut ibu sari-sarinya pasti mengalir padaku. Lantas bagaimana bisa aku ngeces cuma karena ibu tidak jadi makan saos? Perempuan aneh!
Tak lama kemudian kudengar lagi suara perempuan lain bicara pada ibu dan ayah.
“Anaknya perempuan atau laki-laki?”
“Laki-laki,” jawab ibu.
Perempuan itu sepertinya terkejut dengan jawaban yang diberikan ibu.
“Laki-laki? Malam-malam begini ke luar rumah. Ngga takut?”
“Takut kenapa memangnya?” tanya ayah.
“Ya takut dibawa kunti.”
“Kunti? Kuntilanak maksudnya?” tanya ibu penuh ragu.
“Hust! Jangan keras-keras, nanti dengar! Lain kali kalau mau ke luar malam lagi bawa gunting. Ditaro di perut.”
“Untuk apa?” ibu kian penasaran.
“Masa belum tahu. Penangkal! Memangnya ngga ada yang ngasih tahu?”
“Ngga. Memangnya kenapa?” rasa penasaran ibu makin menjadi.
“Kalau perempuan sedang hamil tua harus menaruh gunting di perutnya. Apalagi anakmu laki-laki. Bau anyirnya lebih terasa. Jangan sampai anakmu hilang dibawa makhluk itu. Dari mulai kandungan usia enam bulan wajib bawa gunting! Sebagai penangkal!”
Seenaknya saja aku dikatai bau anyir! Kalau aku bau anyir kenapa mereka dekat-dekat dengan ibu? Jelas-jelas aku berada dalam rahim ibu. Dan kalau memang benar aku bau anyir, mana mungkin ayah dan ibu kuat bersamaku dengan bau anyirku yang menyengat.
Sepanjang jalan aku menggerutu seorang diri. Sesampainya di rumah, ayah dan ibu memperbincangkan hal yang dibicarakan oleh dua perempuan tadi.
“Ngga habis pikir. Kok bisa ya di jaman sekarang ini masih saja percaya sama hal begitu. Ini jaman kan sudah modern harusnya berpikir maju.”
“Yang dirasa kurang bermanfaat abaikan saja, tapi yang bermanfaat dijadikan bahan pembelajaran. Kita harus meyakini adanya makhluk lain yang diciptakan Tuhan. Tapi tetap manusia derajatnya lebih tinggi dibandingkan bangsa jin, iblis, atau setan. Itu jika hubungan manusia secara vertical dan horizontal dilakukan dengan baik sepanjang hidupnya. Waspada boleh, tapi jangan berlebihan. Jangan sampai menjadikan kita musyrik. Ibu kalau sudah ngantuk tidur saja duluan. Ayah mau nyelesein kerjaan kantor dulu.”
“Iya. Jangan malam-malam ya. Ayah juga kan perlu istirahat.”
“Jagoan ayah tidur ya sayang sama ibu. Selamat tidur.” Ciuman hangat kembali mendarat di keningku. Ini yang paling kusuka. Sebelum tidur ayah tak pernah lupa menciumku dan ibu.
Esoknya kulihat sinar mentari menerobos masuk ke dalam rumah bahkan melalui celah-celah sempit sekalipun. Terasa cairan masuk ke dalam perutku. Ibu meneguk segelas susu. Terdengar suara ayah memanggil.
‘Ibu, ayah berangkat dulu. Jagoan, ayah berangkat dulu ya.”
“Iya. Hati-hati.”
Lagi-lagi ciuman hangat mendarat di keningku dan di bibir indah ibu. Ini juga yang paling kusuka dari ayah. Selalu menciumku dan ibu setiap kali akan berangkat ke kantor.
Selang beberapa menit setelah keberangkatan ayah, terdengar suara ketukan pintu disusul suara seorang perempuan memanggil nama ibu.
“Assalamualaikum. Permisi! Anita.”
Terdengar suara pintu dibuka disusul jeritan bahagia kaum hawa.
“Anita!”
“Hai. Ya Allah tambah cantik aja.”
“Bisa aja.”
“Gimana kabar?”
“Alhamdulillah baik, kamu?”
“Alhamdulillah. Kamu sama siapa ke sini?”
“Sendirian.”
“Naik?”
“Angkotlah! Di rumah sepi. Daripada jenuh main aja ke sini. Eh minggu depan ada reuni SMP di rumahku. Datang ya.”
“Insya Allah.”
“Berapa bulan sekarang?”
“Delapan. Kamu?”
“Sembilan. Aku sebenarnya dilarang pergi-pergi, katanya takut berojol di jalan, tapi biarlah. Di rumah juga aku sendirian.”
Melalui dinding rahim ibu kulihat gunting menggantung di perut kawan lama ibu. Ini seperti yang diungkap dua perempuan semalam pada ibu dan ayah perihal gunting yang wajib ada di perut ibu-ibu hamil apalagi yang sudah memasuki usia kehamilan tujuh bulan.
“Eh Nit, kamu ngga pake gunting?”
“Ngga ah.”
“Kok ngga ah? Anakmu kan laki-laki emang ngga takut ngga pake gunting?”
“Justru kalau pakai gunting aku takut. Nanti anakku ketusuk gimana?”
“Ya hati-hati dong. Lagian ngga bakalan. Aku belum pernah dengar ada ibu-ibu ketusuk gunting yang sengaja ditaruh di perutnya sendiri sebagai penangkal pas lagi hamil. Tapi kalau bayi hilang dibawa makhluk lain, aku pernah dengar. Anakku yang perempuan ini aja aku kasih penangkal biar ngga digangguin.”
“Itu keyakinanmu.”
“Kamu ngga yakin ada makhluk lain?”
“Bukan aku ngga yakin. Aku percaya. Tapi itu semua tidak menjadikanku takut. Justru aku mesti membentengi diriku dengan lebih kuat lagi.”
“Aku juga lagi membentengi diri biar anakku ngga digangguin. Ngga hilang dibawa makhluk lain! Aku siaga dengan gunting.”
“Itu terserah kamu. Kita kan punya cara yang berbeda dalam menyikapi berbagai persoalan. Tergantung dari bagaimana kita memandang persoalan itu. Aku sih membentenginya dengan shalat dan mengaji.”
Ibuku memang hebat. Tidak terkontaminasi oleh perkataan orang lain. Aku bersyukur memiliki orang tua seperti ayah dan ibu yang mempunyai keteguhan iman dan hati.
Selepas bercakap dengan kawan lama, ibu berlanjut berbincang dengan ua yang datang seorang diri setelah kepulangan kawan lama ibu. Ua sengaja datang hanya untuk memberitahu ibu perihal yang dilihatnya semalam melalui mata batin.
“Tadi malam ada yang datang ke sini. Awalnya hanya melewati rumah ini, tapi karena wangi anakmu tercium, ia masuk ke dalam rumah dan melewati kamarmu. Hanya sekedar lewat. Ngga berani masuk kamar. Terus bentengi diri!”
“Insya Allah ua. Anita percaya, kekuatan terbesar datang dari Allah. Meski pun Allah menciptakan makhluk lain, tapi derajatnya tidaklah sama dengan manusia yang selalu berikhtiar. Iblis terus-menerus menggoda manusia sampai hari kiamat datang. Semakin banyak manusia tergoda, semakin senang iblis karena itu artinya akan semakin banyak pula anak cucu adam yang nantinya menghuni neraka bersama para iblis. Anita tidak pernah takut pada apapun, kecuali pada Allah.”
“Syukur Alhamdulillah pemikiranmu tidak sempit. Ua juga kadang heran dengan ibu-ibu hamil yang diperutnya tergantung gunting, ada juga bawang.”
Malam harinya ayah dan ibu membahas soal percakapan ibu dengan kawan lamanya dan ua. Ayah tertawa sambil mengelus-elusku.
“Kok ayah malah ketawa?”
“Ya ayah ngga habis pikir aja. Lidya kawan SMP ibu kok masih punya pemikiran semacam itu. Padahal dia kan mengenyam pendidikan.”
“Itu sudah menjadi kepercayaan keluarganya.”
“Jagoan kita hanya memerlukan satu benteng pertahanan.”
“Apa?”
“Kasih sayang kedua orang tuanya.”
***
Kini aku telah lahir ke dunia. Aku dapat merasakan langsung sentuhan hangat kedua orang tuaku. Kecupan di setiap malam saat ayah dan ibu beranjak tidur juga setiap pagi saat ayah dan ibu bangun dari tidurnya. Aku benar-benar lahir ke dunia dengan membawa sepenggal cerita perempuan tanpa gunting di perutnya.


Cirebon, Februari 2015

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen : Perempuan Tanpa Gunting di Perutnya yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 02.47

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.