PEREMPUAN
TANPA GUNTING DI PERUTNYA
Kurasakan getaran halus penuh cinta
dalam setiap pergerakan yang ibu lakukan padaku. Denyut jantung ibu berirama
dengan denyut jantungku. Kami tak dapat terpisahkan oleh siapapun, kecuali
tangan Tuhan.
Sering ibu mengajakku bicara.
Berbagi kisah. Namun sampai detik ini aku hanya dapat menjadi pendengar setia
tanpa berkomentar apapun. Ibu sangat senang setiap kali berdialog denganku,
walau belum pernah sekali pun mendengarku bicara.
Ibu begitu sabar menantikan kehadiranku.
Kehadiran suaraku. Tak pernah sekalipun terbesit dalam benak ibu perasaan
menyerah untuk bisa bertemu denganku dan mendengar cerita-ceritaku kelak.
Perhatian ibu padaku menciptakan kekuatan batin di antara kami.
“Jagoan ibu, sekarang kita makan ya.
Biar Raka sehat, ibu juga sehat.”
Terasa elusan hangat menjalari
seluruh tubuhku. Kehangatan dari elusan tangan ibu melebihi hangatnya tempatku
berada.
Selepas makan sore, kudengar
lantunan lagu-lagu klasik. Ibu memang pandai dalam mendidikku. Berbagai macam
cara dilakukan untuk menjadikanku anak yang cerdas.
Sebelum magrib ayah selalu sudah
berada di rumah. Jarang lembur di kantor. Ayah lebih memilih menyelesaikan pekerjaan
kantornya di rumah. Apalagi ketika aku sudah mulai berani memukul dan menendang
ibu dengan penuh kasih sayang.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
“Jagoan ayah lagi apa?” Ciuman
hangat ayah mendarat tepat di keningku. Biasanya selepas menciumku ayah selalu
mencium kening ibu.
“Mapnya banyak sekali yah, malam ini
lembur lagi?”
“Iya bu. Kerjaan di kantor lagi
numpuk. Yang penting ayah lemburnya ngga di kantor. Lemburnya di rumah sambil
nemenin istri tercinta.”
“Dan anak kita.”
“Iya, jagoan ayah dan ibu.”
Terasa getaran cinta ayah dan ibu
begitu kuat. Ayah mengelus-elus perut ibu dan berhenti tepat di dinding rahim
tempatku biasanya mengintip. Sepertinya ayah dan ibu sedang bercumbu mesra. Aku
ingin melihatnya, namun ayah sengaja menutup dinding rahim hingga aku tak dapat
melihat adegan romantis itu.
Nampaknya
aku perlu melakukan sebuah pergerakan yang dapat membuat ibu dan ayah menyadari
kalau aku ada dan ingin melihat. Kutendang rahim ibu dengan halus. Terdengar
suara tawa ibu dan tangan ayah sudah tak lagi menutup daerah penglihatanku.
Sayang, adegan romantis itu sudah berhenti. Ayah tahu saja kalau aku masih
terbilang anak di bawah umur dan belum saatnya melihat hal yang seperti itu.
“Ayah
mandi dulu. Sambil ayah mandi, ibu siapin makan.”
Segala
kalimat yang terlontar dari bibir manis ibu selalu terdengar olehku. Setiap
pergerakan ibu dapat kurasakan. Hati kami menyatu. Ayah juga sering mengajakku
bicara.
Selepas
ayah mandi, kulihat ayah menghampiriku yang duduk di kursi ruang makan bersama
ibu.
“Jagoan
ayah sudah makan belum? Mau makan bareng ayah? Ibu sudah makan?”
“Sudah.”
“Ayah
makan dulu ya. Habis makan kita sholat bareng sama ibu.” Ucap ayah padaku yang
asik mengemut jari.
Selepas
ayah makan, terdengar suara adzan berkumandang. Aku belum bisa berwudlu, tapi
kelak jika sudah saatnya pasti ibu akan mengajariku.
Kami
pun melaksanakan sholat Maghrib berjamaah. Suara ayah terdengar begitu indah
melantunkan ayat-ayat Allah. Aku ingin seperti ayah yang sangat bertanggung
jawab terhadap keluarga. Melaksanakan betul tanggung jawabnya sebagai seorang
kepala rumah tangga. Sebagai seorang suami sekaligus ayah. Ayahku memang cocok
disebut imam.
Malam
ini ibu sangat ingin sekali makan bakso dan kami pun makan bakso di tempat
langganan yang tak jauh dari tempat tinggal kami.
“Kita
makan bakso ya nak,” kata ibu padaku sambil mengelus-elusku.
Kulihat
tangan ibu menjamah botol saos, namun ditaruh lagi oleh ayah.
“Jangan
bu. Saos ngga bagus.”
“Tapi
pengen ayah.”
“Ngga
boleh. Ngga kasihan sama jagoan kita? Buat badan ibu juga ngga bagus.”
Ibu
kalau sudah diberitahu ayah pasti nurut. Tidak bisa berkutik.
“Kalau
tidak dituruti nanti anaknya ngeces!” seorang perempuan nyeletuk.
Ngeces?
Apa itu? Kukeruk isi kepala ibu dan kutemukan makna kata “ngeces”. Ileran. Air
liur yang terus-menerus ke luar dari mulut. Jadi maksudnya aku akan ileran
kalau ibu tidak makan saos? Karena keinginan ibu makan saos lahir dari
keinginanku? Rasanya aku tidak pernah berkeinginan macam-macam. Untuk sekedar
minta saos pun tidak. Lalu jika benar aku ingin saos, apa ibu bisa mendengarku?
Lagipula aku tidak tahu bagaimana rasa saos itu. Yang aku tahu hanyalah semua
makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut ibu sari-sarinya pasti mengalir
padaku. Lantas bagaimana bisa aku ngeces cuma karena ibu tidak jadi makan saos?
Perempuan aneh!
Tak
lama kemudian kudengar lagi suara perempuan lain bicara pada ibu dan ayah.
“Anaknya
perempuan atau laki-laki?”
“Laki-laki,”
jawab ibu.
Perempuan
itu sepertinya terkejut dengan jawaban yang diberikan ibu.
“Laki-laki?
Malam-malam begini ke luar rumah. Ngga takut?”
“Takut
kenapa memangnya?” tanya ayah.
“Ya
takut dibawa kunti.”
“Kunti?
Kuntilanak maksudnya?” tanya ibu penuh ragu.
“Hust!
Jangan keras-keras, nanti dengar! Lain kali kalau mau ke luar malam lagi bawa
gunting. Ditaro di perut.”
“Untuk
apa?” ibu kian penasaran.
“Masa
belum tahu. Penangkal! Memangnya ngga ada yang ngasih tahu?”
“Ngga.
Memangnya kenapa?” rasa penasaran ibu makin menjadi.
“Kalau
perempuan sedang hamil tua harus menaruh gunting di perutnya. Apalagi anakmu
laki-laki. Bau anyirnya lebih terasa. Jangan sampai anakmu hilang dibawa
makhluk itu. Dari mulai kandungan usia enam bulan wajib bawa gunting! Sebagai
penangkal!”
Seenaknya
saja aku dikatai bau anyir! Kalau aku bau anyir kenapa mereka dekat-dekat
dengan ibu? Jelas-jelas aku berada dalam rahim ibu. Dan kalau memang benar aku
bau anyir, mana mungkin ayah dan ibu kuat bersamaku dengan bau anyirku yang
menyengat.
Sepanjang
jalan aku menggerutu seorang diri. Sesampainya di rumah, ayah dan ibu
memperbincangkan hal yang dibicarakan oleh dua perempuan tadi.
“Ngga
habis pikir. Kok bisa ya di jaman sekarang ini masih saja percaya sama hal
begitu. Ini jaman kan sudah modern harusnya berpikir maju.”
“Yang
dirasa kurang bermanfaat abaikan saja, tapi yang bermanfaat dijadikan bahan
pembelajaran. Kita harus meyakini adanya makhluk lain yang diciptakan Tuhan.
Tapi tetap manusia derajatnya lebih tinggi dibandingkan bangsa jin, iblis, atau
setan. Itu jika hubungan manusia secara vertical dan horizontal dilakukan dengan
baik sepanjang hidupnya. Waspada boleh, tapi jangan berlebihan. Jangan sampai
menjadikan kita musyrik. Ibu kalau sudah ngantuk tidur saja duluan. Ayah mau
nyelesein kerjaan kantor dulu.”
“Iya.
Jangan malam-malam ya. Ayah juga kan perlu istirahat.”
“Jagoan
ayah tidur ya sayang sama ibu. Selamat tidur.” Ciuman hangat kembali mendarat
di keningku. Ini yang paling kusuka. Sebelum tidur ayah tak pernah lupa menciumku
dan ibu.
Esoknya
kulihat sinar mentari menerobos masuk ke dalam rumah bahkan melalui celah-celah
sempit sekalipun. Terasa cairan masuk ke dalam perutku. Ibu meneguk segelas
susu. Terdengar suara ayah memanggil.
‘Ibu,
ayah berangkat dulu. Jagoan, ayah berangkat dulu ya.”
“Iya.
Hati-hati.”
Lagi-lagi
ciuman hangat mendarat di keningku dan di bibir indah ibu. Ini juga yang paling
kusuka dari ayah. Selalu menciumku dan ibu setiap kali akan berangkat ke
kantor.
Selang
beberapa menit setelah keberangkatan ayah, terdengar suara ketukan pintu
disusul suara seorang perempuan memanggil nama ibu.
“Assalamualaikum.
Permisi! Anita.”
Terdengar
suara pintu dibuka disusul jeritan bahagia kaum hawa.
“Anita!”
“Hai.
Ya Allah tambah cantik aja.”
“Bisa
aja.”
“Gimana
kabar?”
“Alhamdulillah
baik, kamu?”
“Alhamdulillah.
Kamu sama siapa ke sini?”
“Sendirian.”
“Naik?”
“Angkotlah!
Di rumah sepi. Daripada jenuh main aja ke sini. Eh minggu depan ada reuni SMP
di rumahku. Datang ya.”
“Insya
Allah.”
“Berapa
bulan sekarang?”
“Delapan.
Kamu?”
“Sembilan.
Aku sebenarnya dilarang pergi-pergi, katanya takut berojol di jalan, tapi
biarlah. Di rumah juga aku sendirian.”
Melalui
dinding rahim ibu kulihat gunting menggantung di perut kawan lama ibu. Ini
seperti yang diungkap dua perempuan semalam pada ibu dan ayah perihal gunting
yang wajib ada di perut ibu-ibu hamil apalagi yang sudah memasuki usia
kehamilan tujuh bulan.
“Eh
Nit, kamu ngga pake gunting?”
“Ngga
ah.”
“Kok
ngga ah? Anakmu kan laki-laki emang ngga takut ngga pake gunting?”
“Justru
kalau pakai gunting aku takut. Nanti anakku ketusuk gimana?”
“Ya
hati-hati dong. Lagian ngga bakalan. Aku belum pernah dengar ada ibu-ibu
ketusuk gunting yang sengaja ditaruh di perutnya sendiri sebagai penangkal pas
lagi hamil. Tapi kalau bayi hilang dibawa makhluk lain, aku pernah dengar.
Anakku yang perempuan ini aja aku kasih penangkal biar ngga digangguin.”
“Itu
keyakinanmu.”
“Kamu
ngga yakin ada makhluk lain?”
“Bukan
aku ngga yakin. Aku percaya. Tapi itu semua tidak menjadikanku takut. Justru
aku mesti membentengi diriku dengan lebih kuat lagi.”
“Aku
juga lagi membentengi diri biar anakku ngga digangguin. Ngga hilang dibawa
makhluk lain! Aku siaga dengan gunting.”
“Itu
terserah kamu. Kita kan punya cara yang berbeda dalam menyikapi berbagai
persoalan. Tergantung dari bagaimana kita memandang persoalan itu. Aku sih
membentenginya dengan shalat dan mengaji.”
Ibuku
memang hebat. Tidak terkontaminasi oleh perkataan orang lain. Aku bersyukur
memiliki orang tua seperti ayah dan ibu yang mempunyai keteguhan iman dan hati.
Selepas
bercakap dengan kawan lama, ibu berlanjut berbincang dengan ua yang datang
seorang diri setelah kepulangan kawan lama ibu. Ua sengaja datang hanya untuk
memberitahu ibu perihal yang dilihatnya semalam melalui mata batin.
“Tadi
malam ada yang datang ke sini. Awalnya hanya melewati rumah ini, tapi karena
wangi anakmu tercium, ia masuk ke dalam rumah dan melewati kamarmu. Hanya
sekedar lewat. Ngga berani masuk kamar. Terus bentengi diri!”
“Insya
Allah ua. Anita percaya, kekuatan terbesar datang dari Allah. Meski pun Allah
menciptakan makhluk lain, tapi derajatnya tidaklah sama dengan manusia yang selalu
berikhtiar. Iblis terus-menerus menggoda manusia sampai hari kiamat datang.
Semakin banyak manusia tergoda, semakin senang iblis karena itu artinya akan
semakin banyak pula anak cucu adam yang nantinya menghuni neraka bersama para
iblis. Anita tidak pernah takut pada apapun, kecuali pada Allah.”
“Syukur
Alhamdulillah pemikiranmu tidak sempit. Ua juga kadang heran dengan ibu-ibu
hamil yang diperutnya tergantung gunting, ada juga bawang.”
Malam
harinya ayah dan ibu membahas soal percakapan ibu dengan kawan lamanya dan ua.
Ayah tertawa sambil mengelus-elusku.
“Kok
ayah malah ketawa?”
“Ya
ayah ngga habis pikir aja. Lidya kawan SMP ibu kok masih punya pemikiran semacam
itu. Padahal dia kan mengenyam pendidikan.”
“Itu
sudah menjadi kepercayaan keluarganya.”
“Jagoan
kita hanya memerlukan satu benteng pertahanan.”
“Apa?”
“Kasih
sayang kedua orang tuanya.”
***
Kini
aku telah lahir ke dunia. Aku dapat merasakan langsung sentuhan hangat kedua
orang tuaku. Kecupan di setiap malam saat ayah dan ibu beranjak tidur juga setiap
pagi saat ayah dan ibu bangun dari tidurnya. Aku benar-benar lahir ke dunia
dengan membawa sepenggal cerita perempuan tanpa gunting di perutnya.
0 komentar:
Posting Komentar