Cerpen : Nongtot Jodo

Written By Unknown on Rabu, 01 April 2015 | 03.12



NONGTOT JODO

            Nek Inah tujuh puluh tahun, tetangga di samping rumahku yang setiap sore kerjanya duduk di kursi goyang, memandangi senja. Sejak jam empat sore hingga menjelang magrib tak pernah sedetik pun senja disia-siakannya. Apalagi beranjak dari kursi goyangnya adalah hal yang mustahil.
            Pandangannya setia pada langit jingga. Ditemani secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok. Jika ada tetangga yang lewat ke depan rumah dan menyapanya, cukup dengan lirikan dan sekejap senyuman disuguhkan. Semua masyarakat di desa ini sudah tahu akan kebiasaan rutin Nek Inah di sore hari. Jadi tak ada yang tersinggung, jika Nek Inah hanya sekedar absen wajah sedetik pada siapa saja yang berseliweran ke depan rumahnya.
            Sambil berayun, diseruputnya secangkir kopi hitam tanpa gula sembari terus mencumbu langit. Dibakarnya sebatang rokok menemani kediamannya yang penuh sunyi. Dihisapnya rokok perlahan dengan penuh cinta. Asap rokok yang ke luar dari bibir keringnya membumbung ke udara. Membentuk bulatan-bulatan. Bergulung-gulung.
            Nek Inah belum memiliki cucu. Anak juga belum, karena Nek Inah memang belum pernah mencicipi malam pertama. Jangankan untuk mencicipi malam pertama, menikah saja belum pernah.
            Apa yang salah dari Nek Inah? Saat kulihat fotonya yang masih belia, Nek Inah sangat cantik. Kata kakek, Nek Inah kembang desa semasa itu. Kakek pernah bercerita bahwa dulu Nek Inah sempat menjadi incaran beberapa pria yang mencalonkan diri untuk menjadi kekasihnya dan Nek Inah memilih Kek Joko. Pria yang saat itu terbilang paling ngga bermodal dari segala sisi. Tampang ngga dapet, bantet, dan dompet selalu mampet. Mereka hampir menikah, tapi pacar pertama Kek Joko hadir lagi dengan membawa kenangan indah mereka. Hati Kek Joko tergoyahkan. Ditinggalnya Nek Inah demi pacar pertama. Padahal saat itu telah tersemat cincin pertunangan di jari manis tangan kiri Nek Inah.
            Bukan tanpa alasan Nek Inah memilih Kek Joko, tapi alasannya bukan karena cinta, melainkan karena Kek Joko berhasil melenyapkan luka yang masih membekas di relung hati Nek Inah pada beberapa kekasih yang sebelumnya sudah lebih dulu bermalam di hati Nek Inah. Ada yang berbulan-bulan bahkan ada yang sampai tahunan. Meski tak mencintai Kek Joko, namun Nek Inah percaya betul bahwa cinta bisa dipupuk.
            Kek Sardi, pria yang ketika itu paling tampan dan kaya di desa ini yang menjadi pacar pertama Nek Inah sekaligus pematah hatinya pertama kali, membuat Nek Inah takut untuk menjalin kasih dengan orang yang serupa namun tak sama. Kek Sardi lama menjalin kasih dengan Nek Inah. Lima tahun, namun tak sampai ke pelaminan. Kek Sardi memutuskan menikah dengan gadis lain yang tidak lebih cantik dari Nek Inah.
            Setelah Kek Sardi masih ada beberapa pria lain yang pernah singgah di hati Nek Inah, namun tak satu pun yang berakhir di pelaminan dan menjadi kawan setia Nek Inah hingga akhir hayatnya.
            Pencarian kekasih hati Nek Inah sempat berakhir setelah peristiwa tragis menimpa calon suami Nek Inah. Saat itu Nek Inah bak putri cantik yang turun dari negeri khayangan ditemani para bidadari yang juga cantik jelita, namun kecantikan para bidadari tak mampu menandingi kecantikan sang putri. Dengan gaun putih menjuntai, sepatu kaca yang nyaris dikutuk oleh sepatu-sepatu lainnya yang iri akan pancaran kemilaunya, dan polesan make up yang terkesan sederhana namun bermakna luar biasa kian mempercantik tampilan Nek Inah.
            Sudah sepuluh menit lewat dari yang telah disepakati bersama, tapi batang hidung Kek Roma belum juga nampak. Lewat dua puluh menit dan belum juga tercium tanda-tanda kehadiran Kek Roma beserta kedua orang tuanya. Padahal sanak saudara Kek Roma yang lainnya telah datang di acara akad yang akan berlangsung.
            Tiga puluh menit sudah dihabiskan Nek Inah dengan penuh kecemasan. Nek Inah berdiri di depan rumahnya menanti kedatangan sang pangeran. Sementara di dalam para tamu mulai gaduh akibat lama menunggu. Dering telepon rumah terasa mengejutkan. Nek Inah bergegas mengangkat telepon. Saat menerima telepon, pandangan Nek Inah sontak berubah kosong. Sunyi, hampa, kecewa, sakit, bercampur dalam ruang kegalauan hati di pintu kegagalan. Ruangan sontak hening. Para tamu fokus menatap Nek Inah. Nek Inah menutup telepon dan perlahan bulir-bulir air menumpuk di kedua mata Nek Inah. Semakin lama, tumpukan bulir air semakin menggenang hingga mampu mendobrak kedua kelopak mata Nek Inah. Isak tangis Nek Inah membuncah, memecah keheningan yang sebentar melingkupi ruang akad. Nenek Sri dan Nenek Tari yang merupakan kawan terdekat Nek Inah saat itu bahkan hingga sekarang bergegas mendekati Nek Inah yang terjatuh termakan berita duka.
Layaknya menonton drama film, tiga orang gadis saling berpelukan. Di samping kanan dan kiri adalah para kawan yang setia mendampingi tokoh utama yang sedang merasakan pilu.
Dengan langkah berat Nek Inah di temani Nenek Sri dan Nenek Tari menuju penghulu dan para tamu yang duduk melongo memperhatikan mereka yang berjalan mendekati. Dengan suara berat Nek Inah membatalkan akad pernikahan disebabkan calon mempelai pria tak mungkin datang. Air mata Nek Inah kian deras. Nek Inah berlari ke dalam kamar. Nenek Sri dan Nenek Tari menyampaikan permintamaafan pada penghulu, sanak saudara dan tamu undangan yang sudah hadir untuk menyaksikan sebuah sejarah dalam hidup Nek Inah.
Mobil yang ditumpangi Kek Roma dan kedua orang tuanya menabrak truk semen. Seketika itu juga Kek Roma meninggal dunia di tempat kejadian. Supir menderita patah tulang. Kedua orang tua Kek Roma mengalami luka memar di beberapa bagian di tubuh mereka.
Kek Roma bukanlah pria tampan, bukan pula anak konglomerat. Kek Roma adalah sosok pria pekerja keras yang baik hati. Untuk biaya menikah dengan Nek Inah saja menggunakan uangnya sendiri. Sebenarnya orang tuanya mampu membiayai pernikahan Kek Roma dengan Nek Inah, namun Kek Roma menyarankan agar uang kedua orang tuanya disimpan saja untuk masa tua mereka.
Mobil yang sengaja disewa Kek Roma saat hari pernikahan rusak parah. Untungnya Pak Haji, pemilik mobil tak menggugat keluarga Kek Roma. Malah turut berduka cita atas tragedi yang menimpa mereka. Mengenai supir yang patah tulang, Pak Hajilah yang membiayai seluruh perawatan supir selama di rumah sakit.
Setelah kejadian itu Nek Inah memilih untuk sendiri, namun Kek Joko yang saat itu hadir memperkenalkan diri sebagai seorang pria baik hati selalu berusaha meyakinkan Nek Inah agar tetap semangat menjalani hidup. Nek Inah dan Kek Joko pun kian akrab, hingga suatu hari Kek Joko menyampaikan niatnya melamar Nek Inah. Meski tak ada rasa cinta pada Kek Joko, namun karena ketulusan Kek Joko, akhirnya Nek Inah pun menerima lamaran tersebut. Tapi derita lagi-lagi menyergap Nek Inah. Kek Joko pergi meninggalkannya bersama gadis lain.
Nek Inah, wanita yang dulu cantik, menjadi incaran banyak pria, dari mulai yang tampangnya paling jelek sampai yang paling tampan, dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, semua berakhir sia-sia. Hanya kenangan yang tersisa, namun Nek Inah terus mencoba memupuskan semua kenangan pahit itu, tapi yang ada bukanlah memudar melainkaan semakin mengada. Wujudnya kian nyata di waktu senja.
Apa yang salah dari Nek Inah ketika itu? Dibakarnya sebatang rokok lagi. Dihisapnya dan dihembuskan. Mengeluarkan asap memanjang bagai awan ditiup angin kencang. Semakin panjang semakin melebar dan mengabur. Hilang di jarak yang tidak terlalu jauh dari kursi goyang Nek Inah. Diseruputnya kopi hitam dengan sangat hati-hati.
Di rumah yang dihuninya seorang diri tak menjadikan Nek Inah kesepian. Hanya di saat Idul Fitri dan Idul Adha sajalah rumah Nek Inah ramai pengunjung termasuk sanak saudara. Pernah sekali waktu aku bermain seharian di rumah Nek Inah yang hidup sebatang kara.
Kegiatan Nek Inah di pagi hari adalah memantau tambak ikan di kolam seluas satu hektar tak jauh dari rumahnya. Ada beberapa pekerja yang sehari-harinya bekerja di tambak Nek Inah, mengurusi ikan-ikan.
Tambak Nek Inah adalah tambak satu-satunya yang ada di desa ini. Ikan-ikannya tidak pernah di jual ke kota lain. Nek Inah selalu menjualnya pada pembeli di dalam kota ini saja. Untuk warga satu desa sudah menjadi kebiasaan membeli ikan dari Nek Inah. Warga kota juga banyak yang sudah menjadi pelanggan setia Nek Inah.
Nek Inah mematok harga berbeda untuk pembeli yang berasal dari kota dan pembeli yang berdomisili asli di desa ini. Tentu Nek Inah mematok harga lebih mahal untuk pembeli dari kota, sedangkan untuk warga desa dengan harga lebih murah. Nek Inah tahu betul bahwa tingkat ekonomi masyarakat kota dan desa pastilah berbeda. Itu sebabnya kenapa Nek Inah tidak menyamaratakan harga ikan yang dijualnya.
Sepulang dari tambak, Nek Inah langsung mandi. Sambil menunggu Nek Inah mandi, aku membaca beberapa cerpen yang dulu pernah ditulis oleh Nek Inah sambil minum teh di pintu rumah.
Saat persetubuhanku dengan setumpuk imaji membuatku berenang di kedalaman makna yang lahir dari rangkaian kata-kata, tiba-tiba suara Nek Inah menyeredku untuk lekas kembali pada kehidupan nyata. Aku terkejut.
“Heh Anis, tong calik di lawang panto!”
“Kunaon kitu nek?”
Pandanganku menyelusuri sekeliling tempat dudukku. Barangkali ada segerombolan semut yang siap memanjakanku dengan gigitannya, tapi tak seekor pun menampakan diri.
Dengan tergesa Nek Inah mendekatiku. Menarik lenganku agar lekas berdiri. Dipindahkannya secangkir teh dan buku yang tadi kubaca ke atas meja.
“ Tong osok calik di lawang panto! Ulah!”
“Kunaon kitu nek? Apan teu aya sireum.”
“Lain. Pamali! Bisi nongtot jodo!”
Dengan setengah bingung kulanjutkan membaca tulisan cerpen Nek Inah.
“Calikna tong di ditu deui. Di dieu wae.”
Bayangan Nek Inah yang hampir memadati otakku seketika sirna ditelan kehadiran suara kakek.
“Kamu teh Nis. Tiap sore merhatiin Nek Inah terus.”
“Kek, ari nongtot jodo teh naon?”
“Hust, jangan keras-keras!”
“Kenapa memangnya?” Suaraku setengah berbisik.
“Itu contohnya. Nek Inah! Dulu sebelum Nek Inah bertemu dengan cinta pertamanya, Nek Inah sering duduk di pintu rumah dan kebiasaan itu dibawanya hingga mencapai usia tiga puluh tahunan setelah putus dari Si Joko. Dulu waktu jaman masih anak-anak sampai Nek Inah beranjak dewasa ibunya sering melarang duduk di pintu rumah, tapi Si Inah tetap maksa. Setelah kisah cintanya dengan Joko berakhir kandas, Inah memutuskan untuk tidak mau lagi duduk di pintu rumah dan tidak mau lagi berhubungan dengan pria manapun juga. Padahal saat itu Inah masih terlihat cantik walau sudah mulai termakan usia.”
“Mungkin Nek Inah takut kecewa lagi.”
“Bisa jadi. Kakek ke sawah dulu ya. Tong kamana-mana. Kahade di bumi.”
Kutatap Nek Inah yang masih terdiam seorang diri di kursi goyang. Masih pula melihat senja yang malu-malu berpamitan pulang pada Nek Inah.
Nek Inah kembali membakar sebatang rokok. Dihisapnya. Abu rokok yang bercampur dengan beberapa puntung rokok menumpuk di asbak. Kembali diseruputnya kopi hitam yang ampasnya perlahan menampakan diri. Nek Inah tersenyum dan mengangguk. Senja sedikit demi sedikit menarik tubuhnya untuk kembali pulang.
Sepuluh batang rokok dilalap habis sore ini oleh Nek Inah ditambah sebatang lagi yang terapit di kedua jari tangan Nek Inah. Secangkir kopi hitam menyisakan ampas dan sebatang rokok dibawa Nek Inah masuk ke dalam rumah.
Ditinggal pemiliknya, kursi Nek Inah masih bergoyang di tempat. Sama seperti kenangan Nek Inah bersama beberapa kekasih hatinya yang masih bergoyang di dalam ingatan Nek Inah.
Nek Inah sudah tak lagi ada dalam pandanganku. Rumah Nek Inah kini sudah berpindah tempat. Bukan lagi di samping rumah kakek, melainkan di samping rumah ibu dan bapakku. Di bawah batu nisan. Nek Inah sudah bertemu dengan Kekasih Sejatinya. Kekasih yang tak sama dengan beberapa kekasih Nek Inah sebelumnya yang rajin mengukir kekecewaan, bahkan hingga tragedi maut yang membuat Nek Inah trauma setengah mati. Kekasih Nek Inah kali ini adalah Kekasih Sejati Nek Inah.
Kini aku sendiri. Duduk di kursi teras rumah kakek yang pemiliknya tak kan lagi bisa kulihat di kehidupan nyata. Aku duduk sendiri menikmati senja ditemani secangkir teh hangat. Tak ada cinta dari kekasih hati. Tak pula ada riuh suara anak cucu.
Aku, sendiri, yang pernah merasakan jatuh cinta namun cinta tak pernah mendatangiku, meski singgah sebentar.
Tak lagi ada pintu rumah kutempati, bahkan walau sekedar berjongkok sebentar dan yang ada hanya kursi goyang yang mampu menampung beban tubuhku saat senja mencumbu lembut.


Tong calik di lawang panto : Jangan duduk di pintu
Kunaon kitu : Kenapa gitu
Ulah : Jangan
Apan teu aya sireum : Kan ngga ada semut
Lain : Bukan
Pamali : Semacam larangan karena kepercayaan yang dianut
Bisi nongtot jodo : Barangkali susah jodoh
Calikna tong di ditu deui : Duduknya jangan di sana lagi
Di dieu wae : Di sini saja
Tong kamana-mana : Jangan ke mana-mana
Kahade di bumi : Hati-hati di rumah

Ditulis Oleh : Unknown ~Jeh Film

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul Cerpen : Nongtot Jodo yang ditulis oleh Jeh Film yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 03.12

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.