NONGTOT
JODO
Nek Inah tujuh puluh tahun, tetangga
di samping rumahku yang setiap sore kerjanya duduk di kursi goyang, memandangi
senja. Sejak jam empat sore hingga menjelang magrib tak pernah sedetik pun senja
disia-siakannya. Apalagi beranjak dari kursi goyangnya adalah hal yang mustahil.
Pandangannya setia pada langit
jingga. Ditemani secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok. Jika ada tetangga
yang lewat ke depan rumah dan menyapanya, cukup dengan lirikan dan sekejap senyuman
disuguhkan. Semua masyarakat di desa ini sudah tahu akan kebiasaan rutin Nek
Inah di sore hari. Jadi tak ada yang tersinggung, jika Nek Inah hanya sekedar
absen wajah sedetik pada siapa saja yang berseliweran ke depan rumahnya.
Sambil berayun, diseruputnya secangkir
kopi hitam tanpa gula sembari terus mencumbu langit. Dibakarnya sebatang rokok
menemani kediamannya yang penuh sunyi. Dihisapnya rokok perlahan dengan penuh
cinta. Asap rokok yang ke luar dari bibir keringnya membumbung ke udara.
Membentuk bulatan-bulatan. Bergulung-gulung.
Nek Inah belum memiliki cucu. Anak
juga belum, karena Nek Inah memang belum pernah mencicipi malam pertama. Jangankan
untuk mencicipi malam pertama, menikah saja belum pernah.
Apa yang salah dari Nek Inah? Saat
kulihat fotonya yang masih belia, Nek Inah sangat cantik. Kata kakek, Nek Inah kembang
desa semasa itu. Kakek pernah bercerita bahwa dulu Nek Inah sempat menjadi
incaran beberapa pria yang mencalonkan diri untuk menjadi kekasihnya dan Nek
Inah memilih Kek Joko. Pria yang saat itu terbilang paling ngga bermodal dari
segala sisi. Tampang ngga dapet, bantet, dan dompet selalu mampet. Mereka
hampir menikah, tapi pacar pertama Kek Joko hadir lagi dengan membawa kenangan
indah mereka. Hati Kek Joko tergoyahkan. Ditinggalnya Nek Inah demi pacar
pertama. Padahal saat itu telah tersemat cincin pertunangan di jari manis
tangan kiri Nek Inah.
Bukan tanpa alasan Nek Inah memilih
Kek Joko, tapi alasannya bukan karena cinta, melainkan karena Kek Joko berhasil
melenyapkan luka yang masih membekas di relung hati Nek Inah pada beberapa
kekasih yang sebelumnya sudah lebih dulu bermalam di hati Nek Inah. Ada yang
berbulan-bulan bahkan ada yang sampai tahunan. Meski tak mencintai Kek Joko,
namun Nek Inah percaya betul bahwa cinta bisa dipupuk.
Kek Sardi, pria yang ketika itu
paling tampan dan kaya di desa ini yang menjadi pacar pertama Nek Inah
sekaligus pematah hatinya pertama kali, membuat Nek Inah takut untuk menjalin
kasih dengan orang yang serupa namun tak sama. Kek Sardi lama menjalin kasih
dengan Nek Inah. Lima tahun, namun tak sampai ke pelaminan. Kek Sardi
memutuskan menikah dengan gadis lain yang tidak lebih cantik dari Nek Inah.
Setelah Kek Sardi masih ada beberapa
pria lain yang pernah singgah di hati Nek Inah, namun tak satu pun yang
berakhir di pelaminan dan menjadi kawan setia Nek Inah hingga akhir hayatnya.
Pencarian kekasih hati Nek Inah sempat
berakhir setelah peristiwa tragis menimpa calon suami Nek Inah. Saat itu Nek
Inah bak putri cantik yang turun dari negeri khayangan ditemani para bidadari
yang juga cantik jelita, namun kecantikan para bidadari tak mampu menandingi
kecantikan sang putri. Dengan gaun putih menjuntai, sepatu kaca yang nyaris
dikutuk oleh sepatu-sepatu lainnya yang iri akan pancaran kemilaunya, dan polesan
make up yang terkesan sederhana namun bermakna luar biasa kian mempercantik
tampilan Nek Inah.
Sudah sepuluh menit lewat dari yang
telah disepakati bersama, tapi batang hidung Kek Roma belum juga nampak. Lewat
dua puluh menit dan belum juga tercium tanda-tanda kehadiran Kek Roma beserta
kedua orang tuanya. Padahal sanak saudara Kek Roma yang lainnya telah datang di
acara akad yang akan berlangsung.
Tiga puluh menit sudah dihabiskan
Nek Inah dengan penuh kecemasan. Nek Inah berdiri di depan rumahnya menanti
kedatangan sang pangeran. Sementara di dalam para tamu mulai gaduh akibat lama
menunggu. Dering telepon rumah terasa mengejutkan. Nek Inah bergegas mengangkat
telepon. Saat menerima telepon, pandangan Nek Inah sontak berubah kosong.
Sunyi, hampa, kecewa, sakit, bercampur dalam ruang kegalauan hati di pintu
kegagalan. Ruangan sontak hening. Para tamu fokus menatap Nek Inah. Nek Inah
menutup telepon dan perlahan bulir-bulir air menumpuk di kedua mata Nek Inah.
Semakin lama, tumpukan bulir air semakin menggenang hingga mampu mendobrak
kedua kelopak mata Nek Inah. Isak tangis Nek Inah membuncah, memecah keheningan
yang sebentar melingkupi ruang akad. Nenek Sri dan Nenek Tari yang merupakan
kawan terdekat Nek Inah saat itu bahkan hingga sekarang bergegas mendekati Nek
Inah yang terjatuh termakan berita duka.
Layaknya
menonton drama film, tiga orang gadis saling berpelukan. Di samping kanan dan
kiri adalah para kawan yang setia mendampingi tokoh utama yang sedang merasakan
pilu.
Dengan
langkah berat Nek Inah di temani Nenek Sri dan Nenek Tari menuju penghulu dan
para tamu yang duduk melongo memperhatikan mereka yang berjalan mendekati.
Dengan suara berat Nek Inah membatalkan akad pernikahan disebabkan calon
mempelai pria tak mungkin datang. Air mata Nek Inah kian deras. Nek Inah
berlari ke dalam kamar. Nenek Sri dan Nenek Tari menyampaikan permintamaafan pada
penghulu, sanak saudara dan tamu undangan yang sudah hadir untuk menyaksikan
sebuah sejarah dalam hidup Nek Inah.
Mobil
yang ditumpangi Kek Roma dan kedua orang tuanya menabrak truk semen. Seketika
itu juga Kek Roma meninggal dunia di tempat kejadian. Supir menderita patah
tulang. Kedua orang tua Kek Roma mengalami luka memar di beberapa bagian di
tubuh mereka.
Kek
Roma bukanlah pria tampan, bukan pula anak konglomerat. Kek Roma adalah sosok
pria pekerja keras yang baik hati. Untuk biaya menikah dengan Nek Inah saja
menggunakan uangnya sendiri. Sebenarnya orang tuanya mampu membiayai pernikahan
Kek Roma dengan Nek Inah, namun Kek Roma menyarankan agar uang kedua orang
tuanya disimpan saja untuk masa tua mereka.
Mobil
yang sengaja disewa Kek Roma saat hari pernikahan rusak parah. Untungnya Pak
Haji, pemilik mobil tak menggugat keluarga Kek Roma. Malah turut berduka cita
atas tragedi yang menimpa mereka. Mengenai supir yang patah tulang, Pak Hajilah
yang membiayai seluruh perawatan supir selama di rumah sakit.
Setelah
kejadian itu Nek Inah memilih untuk sendiri, namun Kek Joko yang saat itu hadir
memperkenalkan diri sebagai seorang pria baik hati selalu berusaha meyakinkan
Nek Inah agar tetap semangat menjalani hidup. Nek Inah dan Kek Joko pun kian
akrab, hingga suatu hari Kek Joko menyampaikan niatnya melamar Nek Inah. Meski
tak ada rasa cinta pada Kek Joko, namun karena ketulusan Kek Joko, akhirnya Nek
Inah pun menerima lamaran tersebut. Tapi derita lagi-lagi menyergap Nek Inah.
Kek Joko pergi meninggalkannya bersama gadis lain.
Nek
Inah, wanita yang dulu cantik, menjadi incaran banyak pria, dari mulai yang
tampangnya paling jelek sampai yang paling tampan, dari yang paling miskin sampai
yang paling kaya, semua berakhir sia-sia. Hanya kenangan yang tersisa, namun
Nek Inah terus mencoba memupuskan semua kenangan pahit itu, tapi yang ada
bukanlah memudar melainkaan semakin mengada. Wujudnya kian nyata di waktu
senja.
Apa
yang salah dari Nek Inah ketika itu? Dibakarnya sebatang rokok lagi. Dihisapnya
dan dihembuskan. Mengeluarkan asap memanjang bagai awan ditiup angin kencang.
Semakin panjang semakin melebar dan mengabur. Hilang di jarak yang tidak
terlalu jauh dari kursi goyang Nek Inah. Diseruputnya kopi hitam dengan sangat
hati-hati.
Di
rumah yang dihuninya seorang diri tak menjadikan Nek Inah kesepian. Hanya di
saat Idul Fitri dan Idul Adha sajalah rumah Nek Inah ramai pengunjung termasuk
sanak saudara. Pernah sekali waktu aku bermain seharian di rumah Nek Inah yang
hidup sebatang kara.
Kegiatan
Nek Inah di pagi hari adalah memantau tambak ikan di kolam seluas satu hektar
tak jauh dari rumahnya. Ada beberapa pekerja yang sehari-harinya bekerja di
tambak Nek Inah, mengurusi ikan-ikan.
Tambak
Nek Inah adalah tambak satu-satunya yang ada di desa ini. Ikan-ikannya tidak
pernah di jual ke kota lain. Nek Inah selalu menjualnya pada pembeli di dalam
kota ini saja. Untuk warga satu desa sudah menjadi kebiasaan membeli ikan dari
Nek Inah. Warga kota juga banyak yang sudah menjadi pelanggan setia Nek Inah.
Nek
Inah mematok harga berbeda untuk pembeli yang berasal dari kota dan pembeli
yang berdomisili asli di desa ini. Tentu Nek Inah mematok harga lebih mahal
untuk pembeli dari kota, sedangkan untuk warga desa dengan harga lebih murah.
Nek Inah tahu betul bahwa tingkat ekonomi masyarakat kota dan desa pastilah
berbeda. Itu sebabnya kenapa Nek Inah tidak menyamaratakan harga ikan yang
dijualnya.
Sepulang
dari tambak, Nek Inah langsung mandi. Sambil menunggu Nek Inah mandi, aku
membaca beberapa cerpen yang dulu pernah ditulis oleh Nek Inah sambil minum teh
di pintu rumah.
Saat
persetubuhanku dengan setumpuk imaji membuatku berenang di kedalaman makna yang
lahir dari rangkaian kata-kata, tiba-tiba suara Nek Inah menyeredku untuk lekas
kembali pada kehidupan nyata. Aku terkejut.
“Heh
Anis, tong calik di lawang panto!”
“Kunaon
kitu nek?”
Pandanganku
menyelusuri sekeliling tempat dudukku. Barangkali ada segerombolan semut yang
siap memanjakanku dengan gigitannya, tapi tak seekor pun menampakan diri.
Dengan
tergesa Nek Inah mendekatiku. Menarik lenganku agar lekas berdiri.
Dipindahkannya secangkir teh dan buku yang tadi kubaca ke atas meja.
“
Tong osok calik di lawang panto! Ulah!”
“Kunaon
kitu nek? Apan teu aya sireum.”
“Lain.
Pamali! Bisi nongtot jodo!”
Dengan
setengah bingung kulanjutkan membaca tulisan cerpen Nek Inah.
“Calikna
tong di ditu deui. Di dieu wae.”
Bayangan
Nek Inah yang hampir memadati otakku seketika sirna ditelan kehadiran suara
kakek.
“Kamu
teh Nis. Tiap sore merhatiin Nek Inah terus.”
“Kek,
ari nongtot jodo teh naon?”
“Hust,
jangan keras-keras!”
“Kenapa
memangnya?” Suaraku setengah berbisik.
“Itu
contohnya. Nek Inah! Dulu sebelum Nek Inah bertemu dengan cinta pertamanya, Nek
Inah sering duduk di pintu rumah dan kebiasaan itu dibawanya hingga mencapai
usia tiga puluh tahunan setelah putus dari Si Joko. Dulu waktu jaman masih
anak-anak sampai Nek Inah beranjak dewasa ibunya sering melarang duduk di pintu
rumah, tapi Si Inah tetap maksa. Setelah kisah cintanya dengan Joko berakhir
kandas, Inah memutuskan untuk tidak mau lagi duduk di pintu rumah dan tidak mau
lagi berhubungan dengan pria manapun juga. Padahal saat itu Inah masih terlihat
cantik walau sudah mulai termakan usia.”
“Mungkin
Nek Inah takut kecewa lagi.”
“Bisa
jadi. Kakek ke sawah dulu ya. Tong kamana-mana. Kahade di bumi.”
Kutatap
Nek Inah yang masih terdiam seorang diri di kursi goyang. Masih pula melihat
senja yang malu-malu berpamitan pulang pada Nek Inah.
Nek
Inah kembali membakar sebatang rokok. Dihisapnya. Abu rokok yang bercampur
dengan beberapa puntung rokok menumpuk di asbak. Kembali diseruputnya kopi
hitam yang ampasnya perlahan menampakan diri. Nek Inah tersenyum dan mengangguk.
Senja sedikit demi sedikit menarik tubuhnya untuk kembali pulang.
Sepuluh
batang rokok dilalap habis sore ini oleh Nek Inah ditambah sebatang lagi yang terapit
di kedua jari tangan Nek Inah. Secangkir kopi hitam menyisakan ampas dan
sebatang rokok dibawa Nek Inah masuk ke dalam rumah.
Ditinggal
pemiliknya, kursi Nek Inah masih bergoyang di tempat. Sama seperti kenangan Nek
Inah bersama beberapa kekasih hatinya yang masih bergoyang di dalam ingatan Nek
Inah.
Nek
Inah sudah tak lagi ada dalam pandanganku. Rumah Nek Inah kini sudah berpindah
tempat. Bukan lagi di samping rumah kakek, melainkan di samping rumah ibu dan
bapakku. Di bawah batu nisan. Nek Inah sudah bertemu dengan Kekasih Sejatinya.
Kekasih yang tak sama dengan beberapa kekasih Nek Inah sebelumnya yang rajin mengukir
kekecewaan, bahkan hingga tragedi maut yang membuat Nek Inah trauma setengah
mati. Kekasih Nek Inah kali ini adalah Kekasih Sejati Nek Inah.
Kini
aku sendiri. Duduk di kursi teras rumah kakek yang pemiliknya tak kan lagi bisa
kulihat di kehidupan nyata. Aku duduk sendiri menikmati senja ditemani
secangkir teh hangat. Tak ada cinta dari kekasih hati. Tak pula ada riuh suara
anak cucu.
Aku,
sendiri, yang pernah merasakan jatuh cinta namun cinta tak pernah mendatangiku,
meski singgah sebentar.
Tak
lagi ada pintu rumah kutempati, bahkan walau sekedar berjongkok sebentar dan
yang ada hanya kursi goyang yang mampu menampung beban tubuhku saat senja
mencumbu lembut.
Tong
calik di lawang panto : Jangan duduk di pintu
Kunaon
kitu : Kenapa gitu
Ulah
: Jangan
Apan
teu aya sireum : Kan ngga ada semut
Lain
: Bukan
Pamali
: Semacam larangan karena kepercayaan yang dianut
Bisi
nongtot jodo : Barangkali susah jodoh
Calikna
tong di ditu deui : Duduknya jangan di sana lagi
Di
dieu wae : Di sini saja
Tong
kamana-mana : Jangan ke mana-mana
Kahade
di bumi : Hati-hati di rumah
0 komentar:
Posting Komentar