Saya masih ingat ketika saya bertemu dengannya pertama kali di sebuah tempat yang tak pernah saya duga. Tempat yang ketika saya melangkah pertama kali terlihat sangat mengerikan. Tempat yang ditakuti banyak orang jika harus menghuninya. Tempat yang jauh dari bayangan saya akan bisa saya jamah.
Saat itu saya melihat kebanyakan orang saling meluapkan rasa rindu, terlebih pada orang yang amat disayangi. Dengan berbagai cara mereka lakukan tanpa ada rasa malu. Merekam adegan yang tak biasa seperti itu membuat rasa takut saya lumer. Justru timbul rasa iba pada mereka yang terpisah karena jarak.
Kemudian ia datang dan menghampiri saya. Ia menegur saya dan kami pun berbincang layaknya sepasang kawan. Itulah pertemuan kali kedua kami setelah pertama kali kami bertemu dengan keadaan yang jauh lebih baik daripada keadaan kami saat bertemu lagi.
Kami saling berkisah satu sama lain. Menceritakan rasa kecewa yang kami alami dan belum kunjung hilang. Percakapan demi percakapan membuka lebar kesan indah yang diam-diam masuk mencoba memupuskan kenangan pahit.
Tak ada yang berbeda dengannya. Tak ada yang berubah darinya. Itulah yang saya amati sebagai seseorang yang sok kenal.
Seiring berjalannya waktu, kami kian dekat dan semakin dekat. Di jarak yang sama sekali tidak pernah terpikirkan, kami pun berikrar untuk saling menjaga hati yang telah berpaut.
Sebagai seorang wanita, tentu saja saya bahagia, namun tetap saya harus lebih berhati-hati karena sedekat apapun kita dengan siapa pun kewaspadaan harus ada. Di jaman sekarang jangankan teman, sesama saudara saja bisa saling menindih. Bukan suudzon, hanya perlu mawas diri agar tidak terjebak dalam kepalsuan.
Seiring berjalannya waktu, kami merasa telah saling menemukan kecocokan. Tinggal memutuskan langkah pasti yang tidak membutuhkan kekecewaan.
Saya kira dengan pengalaman pahit yang penah dialami akan membelajarkannya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tapi nyatanya, ketaatannya pada Tuhan hanya dilakukan saat ia dilanda ujian. Dan jika ujian itu telah berakhir lalu ia menemukan kebahagiaan, ia pun lupa untuk bersyukur. Berterima kasih pada Allah yang telah memberi jalan, membukakan pintu yang bisa mengeluarkannya dari berbagai persoalan yang mendera.
Saya sedih, terlebih ketika pemberiannya yang selalu saya gunakan, namun pemberian saya hanya dijadikan sebagai bahan pengisi lemarinya yang masih kosong.
Di usia kami yang terbilang sudah tidak muda lagi, saya selalu mengingatkannya tentang keabadian yang akan ditemukan manakala Tuhan telah mencabut nyawa kita dan saat kita telah kembali pada Rabb tak akan ada lagi cara menghindar dari Hari Perhitungan. Di mana semua manusia dikumpulkan dan ditimbang amalnya selama hidup di dunia. Lalu manusia menemukan Balasannya.
Saya serahkan segalanya pada Tuhan karena hanya Dia yang mampu membukakan mata hati seseorang yang amat saya sayangi. Hanya dengan memohon pada Tuhan segalanya jadi terasa lebih ringan. Bahkan rasa sedih saya bisa lebih banyak terobati. Walau pun ketika melihatnya acuh terhadap waktu sholat sedih itu kembali meraja, namun dengan mengingat Allah sedih itu pun sirna. Dan begitu seterusnya berulang hingga saya tak henti berharap akan datang masa di mana ia benar-benar berubah tuk mau lebih dekat dengan Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar